Oleh: Muchammad Pamungkas Sakti Nur Wisisono
Jurusan Informatika, Universitas Muhammadiyah Malang
________
DALAM beberapa dekade terakhir, revolusi teknologi telah merambah setiap aspek
kehidupan manusia. Kehadirannya membawa perubahan besar dalam cara kita bekerja, berkomunikasi, belajar, dan bahkan menikmati hiburan. Teknologi seperti kecerdasan buatan (AI), Internet of Things (IoT), dan komputasi awan telah mengubah pola kehidupan manusia secara signifikan. Namun, di balik manfaat besar yang ditawarkan, teknologi juga menghadirkan berbagai tantangan dan dampak negatif yang tak boleh diabaikan. Apakah revolusi teknologi ini merupakan anugerah yang mempermudah kehidupan, atau justru
ancaman yang dapat membawa kehancuran?
Revolusi teknologi membawa perubahan signifikan dalam berbagai bidang. Dalam
sektor kesehatan, kecerdasan buatan (AI) telah membantu dokter mendiagnosis penyakit dengan lebih cepat dan akurat. Contohnya, di Indonesia, Kementerian Kesehatan telah memanfaatkan AI untuk membantu skrining tuberkulosis menggunakan radiologi dan untuk meningkatkan efisiensi layanan rumah sakit. Hal ini sangat bermanfaat di negara dengan jumlah dokter yang terbatas dibandingkan dengan populasinya.
Dalam dunia pendidikan, teknologi telah menjadi solusi di tengah keterbatasan infrastruktur. Selama pandemi COVID-19, platform belajar daring seperti Ruangguru dan Zenius memungkinkan siswa di seluruh Indonesia tetap dapat belajar meskipun sekolah ditutup. Teknologi juga telah membantu memperluas akses informasi serta menciptakan peluang ekonomi baru, seperti munculnya E-commerce yang mendukung UMKM menjangkau pasar global.
Menurut laporan Bank Indonesia, sektor E-commerce terus bertumbuh dengan pesat. UMKM kini dapat memasarkan produk mereka ke pasar global melalui platform seperti Tokopedia dan Shopee, membuka peluang ekonomi baru yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Namun, di balik kemudahan yang diberikan, teknologi juga membawa ancaman besar.
Salah satu yang paling mencolok ialah meningkatnya ketimpangan sosial. Akses terhadap teknologi masih menjadi masalah di Indonesia, terutama di daerah pedesaan. Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), sekitar 21% atau 22,5 juta penduduk Indonesia belum dapat mengakses internet pada tahun 2024. Hal ini menyebabkan kesenjangan digital antara masyarakat perkotaan dan pedesaan semakin melebar.
Selain itu, perkembangan teknologi juga mengancam stabilitas pekerjaan. Otomatisasi
telah menggantikan banyak pekerjaan manusia, terutama di sektor manufaktur. Sebuah studi dari Dana Moneter Internasional (IMF) mengungkapkan bahwa sekitar 40% pekerjaan di Indonesia berisiko digantikan oleh mesin atau AI. Ini menjadi tantangan besar bagi tenaga kerja yang belum memiliki keterampilan digital.
Teknologi juga berdampak negatif pada kesehatan mental. Contohnya, penggunaan
media sosial yang sering kali menjadi penyebab depresi dan kecemasan, terutama di kalangan remaja. Algoritma media sosial dirancang untuk mempertahankan perhatian pengguna, seringkali dengan mempromosikan konten yang memicu emosi negatif.
Kemajuan teknologi mempermudah akses informasi dan komunikasi, tetapi seringkali menciptakan ketergantungan yang sulit dihindari. Smartphone, misalnya, dirancang
dengan berbagai fitur yang membuat penggunanya sulit lepas, seperti notifikasi, media sosial, dan lainnya. Ketergantungan ini dapat mengurangi waktu produktif karena banyak individu lebih banyak menghabiskan waktu untuk hal-hal yang kurang penting, seperti menggulir media sosial tanpa tujuan.
Lebih jauh, ketergantungan ini mengikis kemampuan interpersonal. Komunikasi tatap
muka digantikan oleh pesan instan, yang mengurangi kemampuan empati dan memahami ekspresi nonverbal. Dalam lingkungan kerja, ketergantungan pada teknologi dapat membuat individu kehilangan keterampilan dasar, seperti penyelesaian masalah yang melibatkan logika atau analisis manual.
Meningkatnya penggunaan perangkat teknologi, seperti ponsel, komputer, dan perangkat elektronik lainnya, telah menyebabkan lonjakan produksi limbah elektronik.
Limbah ini terdiri dari perangkat yang rusak, usang, atau tidak lagi digunakan. Limbah
elektronik mengandung bahan kimia berbahaya, seperti timbal, merkuri, dan kadmium. Jika limbah ini dibuang sembarangan, bahan kimia tersebut dapat meresap ke dalam tanah, mencemari air tanah, dan merusak ekosistem. Selain itu, proses pembakaran limbah elektronik melepaskan gas beracun yang mencemari udara, memperburuk pemanasan global, dan membahayakan kesehatan manusia.
Untuk memastikan bahwa revolusi teknologi menjadi anugerah, diperlukan langkah-langkah strategis yang melibatkan berbagai pihak. Pemerintah perlu memperluas akses
internet dan infrastruktur digital, terutama di daerah-daerah tertinggal. Program seperti Palapa Ring harus dioptimalkan untuk memastikan semua masyarakat Indonesia dapat menikmati manfaat teknologi.
Selain itu, pendidikan literasi digital harus menjadi prioritas. Literasi digital mencakup kemampuan memahami, menggunakan, dan mengevaluasi teknologi secara kritis. Ini meliputi kesadaran terhadap keamanan digital, yakni memahami pentingnya melindungi data pribadi dan menggunakan perangkat lunak keamanan. Literasi digital juga mencakup pemahaman tentang etika digital, seperti menggunakan teknologi secara bertanggung jawab, menghindari penyebaran hoaks, serta menghormati hak digital orang lain. Kemampuan ini juga mencakup keahlian untuk mencari dan menilai kredibilitas informasi secara daring guna menghindari penyebaran informasi palsu. Selain literasi digital, kurikulum di sekolah juga perlu disesuaikan untuk mempersiapkan siswa dalam menghadapi tantangan era digital saat ini.
Regulasi yang kuat juga sangat diperlukan dalam mengatur penggunaan teknologi secara etis serta bertanggung jawab. Pemerintah dan perusahaan teknologi harus bisa bekerja sama untuk melindungi data pribadi masyarakat serta mencegah penyalahgunaan teknologi.
Misalnya, pengawasan terhadap penggunaan AI dalam kesehatan harus dilakukan dengan
ketat untuk memastikan keamanan pasien dan integritas data medis. Oleh karena itu, revolusi teknologi merupakan pedang bermata dua. Di satu sisi, ia membawa inovasi yang mempermudah hidup manusia. Di sisi lain, ia juga menghadirkan tantangan besar yang, jika tidak dikelola dengan bijak, dapat membawa kehancuran. Sebagai masyarakat, kita perlu bersikap kritis terhadap teknologi, memanfaatkannya untuk kebaikan bersama, dan memastikan bahwa dampak buruknya dapat diminimalkan. Dengan langkah-langkah ini, kita dapat memastikan bahwa teknologi benar-benar menjadi anugerah, bukan kehancuran. (*)
Tinggalkan Balasan