Oleh: Maulana Ibrahim

Informatika, Universitas Muhammadiyah Malang

_______

TEKNOLOGI saat ini sudah tidak dapat dielakkan lagi, baik itu di seluruh dunia maupun Indonesia. Kemajuan teknologi ini sudah menyatu dengan kehidupan. Namun, dampak negatif dari kemajuan ini juga tidak bisa diabaikan, terdapat penyalahgunaan internet yang nyaris tanpa kendali menyebabkan berbagai tindak kejahatan di dunia maya. Kejahatan berbasis internet umumnya disebut sebagai cybercrime. Cybercrime sendiri merupakan perkembangan lebih lanjut dari computercrime.

Salah satunya adalah praktik doxing. Doxing adalah tindakan menyebarluaskan informasi pribadi seseorang di internet tanpa izin. Informasi yang sebelumnya sulit diakses, seperti alamat tempat tinggal atau nomor telepon seseorang, kini dapat dengan mudah diperoleh melalui pencarian online atau platform media sosial. Sebagai contoh, konflik kecil di internet dapat berakhir dengan penyebaran informasi pribadi seseorang secara publik, yang berpotensi mengancam privasi digital dan keselamatan individu tersebut.

Kejahatan doxing tidak hanya menyerang profesi-profesi terkenal yang identitasnya
kerap dipublikasikan di internet seperti selebriti ataupun jurnalis. Namun, seiring dengan perkembangan internet dan media sosial, semua orang dapat dengan mudahnya untuk mengakses identitas pribadi seseorang. Mulai dari informasi yang dicantumkan dalam media sosial bahkan hingga dapat melacak lokasi seseorang dengan menggunakan alamat IP (Internet Protocol Address).

Berkembangnya penggunaan internet, platform media sosial seperti Instagram, TikTok, dan YouTube yang digunakan oleh lebih dari 100 juta penduduk Indonesia telah
menciptakan peluang baru untuk penyebaran data pribadi. Tiktok, yang menjadi salah satu platform terkemuka di Indonesia, pengguna di platform ini menghabiskan lebih dari 38 jam per bulan. Banyak pengguna yang tanpa sadar membagikan informasi pribadi mereka melalui konten, komenter, atau profil publik. Sayangnya, hal ini dapat dimanfaaat oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab.

Dalam banyak kasus, doxing dilakukan dengan tujuan untuk merusak reputasi
seseorang, memalukan mereka,atau bahkan mengancam keselamatan fisik individu. Tindakan ini bisa sangat merusak karena informasi yang disebarlukan dapat disalahgunakan untuk tujuan yang lebih buruk, seperti perundungan siber atau ancaman fisik.

Sebagai contoh kasus doxing yang ramai di Indonesia, yaitu kasus Bjorka pada 2022. Salah satu kasus paling terkenal, di mana data pribadi tokoh publik seperti pejabat pemerintahan diungkapkan secara luas. Tindakan tersebut menimbul kegaduhan di media dan menyoroti lemahnya perlindungan data di Indonesia. Salah satu hal yang lebih mengejutkan dari tindakan Bjorka adalah dugaan permintaaan terbusan yang terjadi setelah serangan besar pada 2023. Pelaku ini mengklaim telah membocorkan data besar dari berbagai sistem dan meminta tebusan uang sebagai ganti agar data tidak dijual atau disebarluaskan di dark web. Meskipun begitu, tidak semua orang setuju dengan istilah “tebusan” ini. Ada yang mangatakan kalau tindakan ini lebih mirip pemerasan. Dalam dunia peretasan, ini dikenal sebagai “ransom
hacking”. Di sini, hacker minta bayaran supaya korban tidak terkena kerugian lebih besar karena data pribadi atau sensitif mereka disebar.

Ada juga kasus doxing menimpa beberapa jurnalis di Indonesia. Salah satunya ialah
seorang jurnalis Bisnis Indonesia yang diberi ancaman setelah diberitakan mengenai data yang diduga tidak valid. Pelaku doxing mempublikasikan informasi pribadi korban untuk menekan atau mengintimidasi. Jurnalis ini, bersama dengan rekan-rekannya, mendesak agar tindakan kekerasan semacam ini tidak hanya dibiarkan begitu saja, melainkan harus ada tindakan dari aparat hukum.

Masyarakat tidak bisa menutup mata terhadap kasus nyata yang terjadi. Informasi pribadi mereka disebarluaskan untuk membuat mereka rentan terhadap ancaman, pelecehan, atau bahkan kekerasan fisik. Ini bukan hanya pelanggaran privasi, tetapi juga ancaman terhadap kebebasan berbicara dan hak asasi manusia.

Pemerintah memang telah mengatur hukum terkait kejahatan siber, tetapi menurut masyarakat, itu belum cukup. Regulasi sering kali bersifat reaktif, bertindak hanya setelah
kerugian terjadi. Selain itu, implementasi hukum di lapangan juga masih menghadapi tantangan besar, seperti kurangnya kesadaran masyarakat dan kesulitan melacak pelaku yang kerap menggunakan akun anonim.

Namun, sekeras apa pun pemerintah berusaha, upaya melawan doxing tidak akan
berhasil tanpa keterlibatan masyarakat. Sering ditemukan bahwa pengguna media sosial yang secara tidak sadar berkontribusi terhadap doxing. Contohnya ialah membagikan informasi pribadi seseorang di platform media sosial seperti X dan Tiktok hanya karena marah atau tidak setuju dengan pendapat mereka.

Masyarakat perlu memahami bahwa doxing bukanlah alat untuk “menghukum” seseorang yang kita anggap salah. Melakukan itu tidak hanya melanggar hukum tetapi juga
prinsip moral dasar. Sebagai pengguna internet, kita harus mengadopsi etika digital yang lebih baik, seperti menghormati privasi orang lain dan berpikir dua kali sebelum membagikan informasi.

Salah satu cara efektif untuk mencegah doxing ialah dengan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya perlindungan data pribadi. Masyarakat harus diberi pemahaman mengenai risiko yang dapat ditimbulkan jika data pribadi tersebar begitu saja di internet. Edukasi tentang keamanan digital bisa dilakukan melalui pelatihan, seminar, atau bahkan kampanye melalui media sosial yang mempromosikan penggunaan internet secara bijak dan aman. Penegakan hukum juga harus tegas. Para pelaku doxing harus diberi hukuman yang setimpal supaya jera dan nggak mengulangi perbuatannya. Selain itu, teknologi juga bisa jadi solusi. Penggunaan teknologi yang lebih baik, seperti pengaturan privasi yang ketat dan keamanan data yang lebih canggih, bisa membantu mengurangi risiko doxing.

Dengan memberikan pemahaman kepada generasi muda, masyarakat bisa membangun masa depan di mana doxing tidak lagi menjadi ancaman besar, serta menindaklanjuti pelaku doxing. Pengguna media sosial juga diharapkan memanfaatkan
media sosial dengan bijak. Edukasi mengenai etika digital harus menjadi prioritas untuk
mencegah penyalahgunaan media sosial di masa depan. (*)