Oleh: Bung Opickh
Penulis Buku
_______
SEBETULNYA manusia itu tidak ada yang kekurangan atau kelebihan. Sebab, semua memiliki peralatan yang sama, yaitu: kemampuan berpikir (otak) dibanding dengan makhluk lainnya, memiliki kesadaran: untuk membentuk peradaban dan mengelola alam semesta. Memiliki hati untuk menimbang dan mengambil keputusan berdasarkan etika dan moralitas.
Dapat menjadi pemimpin dari level terendah memimpin dirinya, kepala rumah tangga sampai pada level menjadi kepala negara, demi memakmurkan rakyat bahkan semesta. Menurut Aristoteles, manusia adalah Animal Rasional atau zon politicon. Di pikiran Aristoteles secara genelogi manusia mulanya seperti hewan tetapi karena ia dapat berpikir secara rasional, membangun peradaban dan bahkan berpolitik sehingga manusia tak selevel dengan hewan. Ia lebih istimewa: spesial, luar biasa dan hebat.
Dalam perspektif religius, manusia merupakan makhluk yang sangat istimewa. Seperti yang termaktub dalam Quran Surat Al Isra: 70 “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna”.
Begitu juga dalam kajian hukum, manusia tak bisa diparsialkan. Sebab hukum itu datang bersama dengan manusia “Ibi sociate, ubi justicia“. Bahkan keselamatan, kemakmuran dan kesejahteraan dalam suatu negara “Salus populi suprema lex“. Menurut Jhon Locke, bahwa keadilan hanya bisa dicapai dengan memberikan akses yang sama kepada setiap manusia dari latar belakang yang berbeda “equality before of law”.
Kalau kita bicara tentang demokrasi, itu tidak sebatas pilkada dan pilpres lalu selesai. Tetapi secara substansial adalah bagaimana setiap orang (manusia) memiliki hak yang amat istimewa; sama dalam memperoleh kenyamanan, keamanan, keadilan dan kesejahteraan. Karena itulah setiap orang memiliki hak untuk memilih dan dipilih. Bahwa negara sejatinya memberikan kekuasaan yang setinggi-tingginya kepada rakyatnya “kedaulatan di tangan rakyat”.
Jadi kekurangan dan kelebihan manusia itu hanya sekadar soal perspektif. Sejak awal manusia itu sempurna, belum noda atau belum bernoda, tetapi seiring waktu manusia membentuk pengalamannya melalui proses kehidupan. Seperti kata Jhon Locke dalam teori Tabula Rasa bahwa “pikiran adalah lembaran kosong yang diisi oleh pengalaman”.
Ada sebagian manusia yang tak mampu mengoptimalkan pikirannya dengan baik, pasti melakukan kesalahan lalu dikatakan kekurangan. Ada pula yang mengoptimalkan pikirannya melahirkan tindakan yang progresif dan berguna bagi orang lain dan seterusnya, “Animal Survive” (Robert Darwin).
Juga menurut George Berkeley, bahwa segala sesuatu di dunia ini hanya kumpulan persepsi yang dihimpun oleh pikiran. Karena itu, berbuatlah kebaikan dan isilah pikiran kita dengan perspektif yang positif sehingga membentuk empirik yang positif pula. Sayangnya, selama ini kita terjebak dalam cara pandang yang justru menampilkan kekurangan dan kelebihan. Parahnya lagi, kekurangan seringnya disematkan pada orang lain, sementara kelebihan sering diaku oleh diri sendiri.
Ada sebuah cerita, di sebuah desa yang tandus, di belahan utara benua Australia, hiduplah seorang petani tua Indonesia bersama dua binatang kesayangannya. Seekor kanguru dan sapi. Sejak kecil, sapi dan kanguru ini selalu dilatih oleh petani tua untuk membawa air dari sumber air yang letaknya lumayan jauh dari rumah pak tani.
Karena sapi tubuhnya lebih besar, dia selalu menyombongkan diri pada kanguru. Sapi selalu berkata bahwa dialah yang lebih berjasa pada pak tani. Karena ia selalu mengusung air lebih banyak. Bukan hanya itu, dia juga sering mengejek kanguru, ia selalu berkata bahwa kanguru tidak bisa berjalan dengan tenang, karena selalu lompat-lompat. Sehingga air yang dibawanya banyak yang tertumpah.
Lantaran setiap hari selalu diremehkan oleh sapi, kanguru pun tak tahan. Akhirnya, ia berinisiatif untuk menemui petani tua. Kanguru berkata pada pak tani, “Pak tani, saya mohon maaf sebesar-besarnya karena tidak bisa menjalankan tugas yang Anda berikan dengan baik”. Pak tani menjawab dengan pertanyaan, “Maksud kamu?” Kanguru menegaskan apa yang ingin disampaikan, “Saya selalu menumpahkan air, sehingga ketika sampai di rumah tinggal sedikit, tidak sebanyak yang dibawa sapi.”
Kemudian petani tua itu mengelus kepala si kanguru sambil berkata, “Justru akulah yang berterima kasih padamu. Berkat air yang kamu tumpahkan, membuat tanah yang kamu lewati menjadi subur. Seperti yang kamu lihat, bunga-bunga tumbuh mekar dan subur berkat tumpahan air yang kamu bawa.”
Teman-teman dalam kehidupan sehari-hari sering kita melihat orang yang bersikap seperti si sapi tadi. Suka melihat kekurangan orang lain dan selalu membanggakan diri sendiri. Selalu mencela orang. Mengumbar bahkan menjadi opini publik tentang kekurangan orang atau suatu kehidupan daerah lain. Manusia memang sulit untuk melihat dan mengakui kelebihan orang lain. Apalagi orang lain yang dimaksud itu adalah rivalnya.
Entah itu rival politik atau bisnis, saingan personal, saingan di tempat kerja, dan lain sebagainya. Kita lebih cenderung gampang melihat kekurangan orang lain. Bahkan ada juga yang dengan sengaja mencari-cari kekurangan orang lain. Kalau sudah melihat dan mendapatkannya, ia lantas menyombongkan diri. Jangan sombong dan takabur, karena Fir’aun juga begitu, berakhir dengan kematian yang dramatis. Begitu yang dikisahkan sejarah.
Oleh karena itu, janganlah kita seperti sapi, tetapi tirulah kanguru, karena dengan segala keterbatasannya ia berusaha melaksanakan tugas dengan ikhlas. Sampai-sampai ia tidak tahu apa yang dianggapnya kekurangan justru lebih bermanfaat bagi yang lain. Karena di mata pak tani, berkat kanguru, bunga-bunga bisa tumbuh mekar dan subur.
Dari cerita ini, sebenarnya ada yang harus digugah kesadarannya. Kita harus disadarkan bahwa tidak boleh mengklaim diri kita selalu lebih baik dari orang lain. Kita tak boleh seenaknya menghakimi dan mendiskreditkan orang lain. Karena di mata sang pencipta setiap manusia itu “SEMPURNA”. (*)
Tinggalkan Balasan