Oleh: Hariyadi Alexander Sagey

Praktisi Hukum dan Pemerhati Politik Kota Sorong

_______

PADA 27 November 2024 besok akan digelar perhelatan Pilkada di berbagai penjuru negeri ini, termasuk salah satunya provinsi Papua Barat Daya yang usianya masih sangat muda. Tentunya dalam sebuah momentum seperti ini, yang paling menentukan adalah rakyat dikarenakan hak untuk memilih seorang pemimpin dan menyelenggarakan pemerintahan beberapa tahun ke depannya.

Keadaan-keadaan seperti inilah, pertanyaan penting yang perlu dilontarkan ialah, “Siapa yang akan terpilih menjadi kepala daerah nantinya? Apakah mereka yang mengusung calonnya atau tidak?”, Tampaknya ada dua alasan.

Pertama, masyarakat mayoritas tidak melihat ruang demokrasi ini sebagai solusi alternatif untuk menentukan siapa yang harus jadi pemimpinnya. Reformasi melahirkan sistem demokrasi yang masih cacat, termasuk elite dari sistem politik, yang mendangkalkan demokrasi itu sendiri. Penguasaan terhadap lahan ekonomi oleh kelompok tertentu masih terus berlanjut, bahkan dengan pelaku yang sama dan cara yang sama.

Korupsi tidak ada henti-hentinya. Dan, para cendekiawan maupun pemikir yang baik terus dilempar di pinggiran. Bahkan, elite politik dan partai pengusung memilih untuk tidak melanjutkan mengibarkan panji demokrasinya. Karena, mematung di luar tampuk kekuasaan ibarat berdiri di tengah padang berhujan tidak boleh masuk rumah, sementara yang lain boleh berada dalam rumah.

Kedua, rakyat jelata kurang lebih tidak memiliki pemahaman lebih tentang demokrasi, dan tidak menjadikan demokrasi sebagai pertaruhan penting. Sebab hampir pasti ini adalah kelompok masyarakat yang hanya mencari makan dan hidup dari hasil yang di dapatkan tanpa berfikir panjang tentang efek dari demokrasi, kelompok yang belum menjadikan demokrasi sebagai agenda. Demokrasi belum menjadi ufuk harapan. Terkecuali terjadi krisis yang luar biasa, seperti di tahun 1998.

Agenda Pasca Pilkada

Sementara demokrasi adalah ruang yang digadang-gadang memiliki peluang untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera dan maju. Namun, kita perlu mencemaskan keadaan demikian, sebab menerapkan pemilihan kepala daerah di provinsi baru ini sama seperti anak baru lahir di paksa berjalan.

Pasca pilkada, apakah provinsi papua barat daya menjadi provinsi yang lebih demokratis atau mungkin sebaliknya. Kita akan tau jawabannya tapi mungkin membuat air liur habis. Karena itu, yang penting apa agendanya.

Agendanya adalah apakah setelah pilkada fakta tersebut menjadi harga yang pantas di lunasi Tatkala hadirnya provinsi ini, dengan janji kesejahteraan, pemerataan dan keadilan sosial. Apakah hasil pilkada nanti sama dengan cita-cita pemekaran? Itulah yang perlu ditagih.

Inilah agenda bagi yang terpilih menjadi kepala daerah di provinsi baru ini nantinya. Jika itu dapat dicapai, maka, demokrasi kita praktekan secara baik untuk itu tampaknya secara pragmatis tidak perlu menjadi barang yang dicemaskan dan itu artinya pilihan kita jauh lebih baik ataukah lebih buruk dari yang di bayangkan. Semoga kita tidak terperangkap! (*)