Oleh: Ilham Djufri

Sekretaris Pemuda ICMI Maluku Utara

________

MAJELIS Ulama Indonesia (MUI) merupakan lembaga yang diamanahkan untuk memelihara kemurnian akidah umat Islam dan memberikan panduan keagamaan kepada masyarakat. Dalam menjalankan fungsinya, MUI juga memainkan peran penting sebagai penengah dalam isu-isu yang sensitif di kalangan umat. Namun, seperti organisasi masyarakat lainnya, MUI sering menghadapi pertanyaan dan tantangan ketika bersinggungan dengan politik praktis, khususnya di Provinsi Maluku Utara. Isu keterlibatan MUI dalam politik praktis ini menimbulkan diskusi hangat mengenai batasan peran lembaga ini, serta implikasinya bagi umat Islam dan masyarakat luas.

MUI Maluku Utara memiliki kewajiban untuk melindungi dan membimbing umat Islam, terutama dalam menghadapi perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang terjadi di daerah ini. Namun, peran sosial-keagamaan MUI tercoreng dengan melibatkan diri dalam politik praktis yakni melakukan pertemuan dengan salah satu pasangan calon Gubernur. Beberapa pihak menganggap bahwa MUI sebagai lembaga fatwa semestinya berperan independen dan hanya terlibat dalam kebijakan politik jika berkaitan langsung dengan masalah moral atau akidah. Tetapi, dalam praktiknya, tidak dapat dipungkiri bahwa MUI di Maluku Utara berhadapan dengan kepentingan politik yang menuntut mengambil peran politik untuk kepetingannya.

Keterlibatan MUI Maluku Utara dalam politik praktis menimbulkan beberapa konsekuensi, baik dari segi persepsi publik maupun dampaknya bagi umat. MUI telah mengorbankan independensi dan netralitas dalam politik sebagai lembaga penengah. MUI terlihat mendukung salah satu pihak atau kandidat, maka hal ini berpotensi merusak kredibilitasnya di mata umat. Umat bisa kehilangan kepercayaan terhadap MUI dan layak untuk tidak dipercaya karena menganggap bahwa keputusan-keputusan yang diambil sudah tidak lagi murni berdasarkan ajaran Islam, melainkan dipengaruhi sahwat politik praktis.

Memicu polarisasi umat ketika MUI melakukan pertemuan dengan pasangan calon Gubernur tertentu, hal ini bisa memperdalam polarisasi di kalangan umat. Masyarakat, khususnya di Maluku Utara yang kaya dengan keragaman sosial-budaya, bisa terpecah dalam pandangan politik yang berlawanan, yang pada akhirnya mengurangi persatuan umat Islam di daerah ini. Mengurangi fokus pada masalah keumatan, dengan melibatkan diri dalam politik praktis, MUI bisa kehilangan fokus dari peran utamanya dalam memberikan pembinaan spiritual dan sosial kepada umat. Sementara itu, masih banyak masalah-masalah keagamaan yang perlu diperhatikan, termasuk peningkatan pendidikan agama, pemahaman akan moderasi beragama, dan pembangunan ekonomi umat.

Pentingnya menjaga posisi sebagai pengawas moral, mengingat dampak-dampak negatif yang mungkin timbul, MUI Maluku Utara sebaiknya berhati-hati dalam merespon isu-isu politik praktis. Lembaga ini dapat memfokuskan perannya sebagai pengawas moral yang memberikan kritik konstruktif terhadap visi dan misi calon Gubernur tanpa terlibat secara langsung. Selain itu, MUI bisa memainkan peran sebagai mediator jika terjadi konflik-konflik politik lokal dengan menawarkan jalan keluar yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, tanpa terjun langsung ke dalam arena politik praktis. Sebagai penjaga akhlak dan nilai-nilai Islam, MUI Maluku Utara sebaiknya menjaga ketenangan dan kestabilan sosial di tengah-tengah masyarakat yang majemuk.

Keseimbangan antara agama dan politik, peran MUI Maluku Utara dalam ranah sosial-politik merupakan wujud dari tanggung jawab besar yang diemban lembaga ini untuk membimbing umat. Namun, batasan antara peran keagamaan dan keterlibatan dalam politik praktis perlu dijaga ketat agar kepercayaan umat tidak tergerus. MUI diharapkan dapat menjadi pengawas moral dan penggerak kesatuan umat Islam, tanpa terlalu larut dalam pertarungan politik. Dengan demikian, MUI Maluku Utara bisa terus menjalankan misinya sebagai penjaga moral dan penengah di tengah dinamika politik daerah, sekaligus tetap menjadi tumpuan umat dalam mencari bimbingan dan ketenangan umat. (*)