“Dukungan Sultan Ternate terhadap Benny Laos seharusnya memperkuat posisinya, namun yang terjadi justru sebaliknya. Banyak pemilih suku Ternate yang menilai bahwa politik seharusnya dijalankan dengan kebebasan tanpa campur tangan pihak lain, sehingga mereka beralih mendukung Sultan-Asrul yang dipandang lebih merakyat,” jelas Jufri.
Namun, di sisi lain, posisi AM-SAH dan MK-BISA relatif stagnan. Kelemahan utama AM-SAH di Ternate adalah karena mesin partai pendukungnya tidak bergerak signifikan, sehingga sulit untuk membangun basis dukungan yang lebih kuat. Sedangkan, MK-BISA menghadapi tantangan yang berbeda, yaitu sulit mendapatkan simpati dari banyak warga Ternate. Hal ini disebabkan oleh persepsi publik yang melekat pada MK sebagai saudara mantan Gubernur Maluku Utara, Abdul Gani Kasuba. Citra ini semakin sulit dilepaskan karena seluruh proses sidang korupsi Abdul Gani Kasuba berlangsung di Ternate, yang secara langsung mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap MK-BISA.
Jufri menambahkan bahwa dinamika ini menunjukkan bahwa dalam politik elektoral, latar belakang pribadi dan keluarga bisa menjadi faktor krusial yang mempengaruhi persepsi pemilih.
“AM-SAH dan MK-BISA masih memiliki peluang, namun mereka perlu bekerja keras untuk mengubah persepsi publik dan menggerakkan mesin partai mereka jika ingin mengejar ketertinggalan dalam sisa waktu kampanye.”
Jufri juga menambahkan bahwa kontestasi di Kota Ternate akan semakin menarik dalam 30 hari terakhir menjelang masa tenang pemilihan. Hal ini terutama disebabkan oleh keputusan Sherly Tjoanda, yang kini didaulat menggantikan Benny Laos.
“Sherly menjadi satu-satunya kontestan perempuan pertama dalam sejarah Pilgub Maluku Utara, dan tentunya ini akan membawa angin segar dalam dinamika pemilihan,” ujarnya.
Tinggalkan Balasan