Oleh: Herman Oesman

Dosen Sosiologi FISIP UMMU

_______

UJUNG tombak meredam perilaku menyimpang
dan terus menerus menghembuskan norma-norma kebaikan bermula dari institusi keluarga
(Quote, 03 Agustus 2024).

DALAM beberapa hari belakangan ini, masyarakat Maluku Utara, khususnya di Kota Ternate, disuguhi fakta yang menghebohkan, mencengangkan, sekaligus memilukan: penemuan tubuh manusia yang tak bernyawa. Sebelumnya, rentetan kasus kejahatan, berupa pembunuhan dan penikaman juga ikut mewarnai atmosfir kehidupan wilayah yang dikenal relijius ini. Kita pun lalu bertanya-tanya, bagaimana mekanisme kontrol sosial formal dan informal di ruang publik sehingga angka kejahatan dan penyimpangan yang ada bukannya makin ditekan, malah sebaliknya memperlihatkan modus kejahatan yang menaik.

Apa yang terjadi di tengah masyarakat telah memberikan implikasi bagi rasa nyaman dan rasa aman bagi warga. Secara tidak langsung, kasus-kasus yang begitu marak belakangan ini merupakan sebuah upaya menggoyahkan hubungan komunal serta lembaga sosial yang dikenal sebagai disorganisasi sosial. Disorganisasi sosial merupakan retak dan rusaknya hubungan komunal dan lembaga sosial di tengah masyarakat (Schaefer, 2012:200). Hubungan komunal merupakan pilar penting untuk menguatkan jaringan sosial maupun ikatan komunal bagi masyarakat dalam membangun tatanan kehidupan yang lebih bermartabat. Karena itu, munculnya kasus-kasus kejahatan tersebut setidaknya memberi isyarat hubungan komunal kita tidak berjalan dengan baik, terutama pada sebagian warga.

Berbagai kejahatan yang hadir di tengah masyarakat, telah menjadi teror yang membutuhkan pengendalian secara serius dan sistematis. Tentu, tidak sekadar menjadi tanggung jawab aparat negara, namun juga, menjadi perhatian serius warga masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan di lingkungan sosialnya. Kehidupan kota dengan arah kemajuan yang setiap saat mengalami pergeseran, membutuhkan kekuatan sinergi semua institusi sosial dalam membangkitkan daya empati dan kohesi antar warga, sehingga teror kejahatan ini tidak meluas atau merapuhkan integrasi sosial masyarakat.

Setiap individu mengalami proses sosialisasi yang dasarnya sama dalam belajar menyesuaikan dan tindakan menyimpang, yang lebih dikenal sebagai transmisi budaya (cultural transmission), sebuah istilah yang dikemukakan sosiolog Edwin Sutherland (1883-1950), dengan titik tekanan bahwa perilaku kriminal seseorang dipelajari melalui hasil interaksi dengan orang lain. Karena itu, transmisi budaya, berupa tindak kejahatan memerlukan upaya pembatasan sehingga tidak menjadi liar dan merusak tatanan integrasi akibat teror yang ada.

Kasus-kasus kriminal memilukan yang mengarah pada tindakan “skizofrenia sosial” tersebut, tentu membutuhkan kajian lebih mendalam. Apakah memang merupakan tekanan sosial ekonomi semata yang lalu menumpahkan “dendam” kepada tubuh korban, ataukah akumulasi buruknya sistem kekuasaan kita yang memberikan tekanan kuat bagi pelaku untuk melakukan tindakan-tindakan tidak manusiawi tersebut. Di sinilah, kajian dan data-data pendukung menjadi begitu penting untuk menakar perilaku menyimpang tersebut, termasuk mempertimbangkan munculnya norma-norma yang tidak lazim.

Penguatan

Yang patut menjadi perhatian ekstra adalah institusi keluarga. Sebagai benteng pertahanan paling mendasar, institusi keluarga merupakan ujung tombak untuk meredam perilaku menyimpang setiap anggotanya melalui penanaman nilai-nilai (internalisasi) yang kuat dan terus menerus menghembuskan norma-norma kebaikan. Melalui institusi keluarga, kontrol sosial itu dibangun, terutama kepada anak-anak. Bersama-sama dengan norma-norma yang ditumbuhkan di tengah kelompok masyarakat –termasuk institusi agama– seorang individu akan diajarkan untuk memiliki rasa empati, jauh dari sikap manipulatif, angkuh, impulsif, dan jauh dari upaya menipu nalar antar sesama.