Adapun rencana pemetaan yang ketiga, tambah dia, tim akan menaikkan level ketinggian dan area jelajah mendekati mulut kawah dan area timbunan material vulkanik lahar Gunung Api Ibu. Misi ini cukup menantang karena kondisi cuaca di lapangan sering berubah-ubah ditambah Gunung Api Ibu masih sering erupsi dalam interval waktu antara 16-30 jam sekali perhari.
Pada misi ini, sebelumnya tim telah berkoordinasi dengan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) terkait rekomendasi yang paling sesuai untuk menjalankan misi pemetaan.
Selain PVMBG, tim juga telah berdiskusi dengan Balai Wilayah Sungai (BWS) Maluku Utara untuk studi kasus dan kajian awal solusi jangka menengah dan jangka panjang. Selama proses pemetaan, tim juga dikawal oleh dua personel Babinsa yang telah ditugaskan Komandan Kodim 1501 Ternate, Letkol Adietya Yuni Nurtono selalu Komandan Posko Penanganan Darurat Erupsi Gunung Api Ibu.
“Sesuai rencana, pesawat nirawak akan diterbangkan di wilayah utara kawah Gunung Api Ibu dari Desa Tokuoku dan Sangaji Nyeku. Dua desa tersebut berada dalam radius kurang dari tujuh kilometer dan memang berhadapan langsung dengan jalur longsoran material lahar,” imbuhnya.
Menurut warga sekitar yang kemudian juga diakui oleh Tim Pos Pengamatan Gunung Api Ibu, bahwa longsoran material lahar itu memang baru terbentuk selama Gunung Api Ibu mengalami erupsi di tahun ini.
Sebelum erupsi, wilayah utara-barat laut dari puncak kawah utama Gunung Api Ibu masih berupa hutan dan perkebunan milik warga. Setelah terjadi erupsi, sebagian hutan dan perkebunan miliki empat KK tertutup material longsoran lahar tersebut.
Dalam operasi pemetaan itu, tim mengerahkan pesawat Wingtra Gen-2 yang memiliki kemampuan pemetaan cepat untuk visual surveilance dan dapat menampilkan tangkapan kejadian secara langsung.
Drone jenis tail sitter ini mampu menjangkau coverage area atau cakupan wilayah terbang dalam sekali pemetaan seluas kurang lebih 300 hektar selama kurang lebih 30 menit.
Sesuai dengan jenisnya, drone ini secara sistematis dapat diterbangkan secara vertikal menggunakan dua baling-baling utama yang kemudian dapat berubah mode menjadi fixed wing ketika melakukan misi pemetaan, sehingga tidak membutuhkan area lepas landas dan pendaratan yang luas.
“Di samping itu proses persiapan terbangnya pun lebih cepat sehingga tim tidak membutuhkan yang waktu terlalu lama dalam melakukan proses pemetaan hingga pengolahan data,” pungkas dia.
Tinggalkan Balasan