Oleh: Anwar Husen

Kolomnis/Tinggal di Tidore

_________

SALING klarifikasi dan ungkapan islah itu, sayangnya baru terjadi ba’da Magrib, selasa kemarin, setelah pengelola tempat ibadah itu dengan “formasi” nyaris lengkap, menyambangi dan bersilaturrahmi di kediaman saya. Sayangnya lagi, hal ini baru terjadi dalam hitungan tahun, ketika saya tak lagi berjamaah di tempat ibadah itu karena perlakuan pengelolanya yang dipandang merendahkan dan tak saling menghargai. “Sayang” berikutnya lagi, hal ini terjadi setelah ada “perang media”, di media sosial yang tak terhindarkan.

Setiap orang punya alasan untuk sesuatu yang sifatnya sangat pribadi, apalagi itu terkait obsesi ingin mendapatkan ketenangan dan kekhusuan yang ingin diikhtiarkan, hal yang tentunya didambakan banyak orang, kalau tak bisa dibilang semua orang yang memahami makna hamba Tuhan. Apalagi di saat ini, semua akses yang mudah, memungkinkan orang cukup punya banyak pilihan bisa beribadah di tempat mana saja yang dipandang nyaman. Berbeda dengan di zaman lampau, di mana kehidupan yang terisolir, terbatasnya tempat ibadah dan sulitnya akses transportasi, membuat orang harus bertahan yang cukup lama, bahkan seumur hidup untuk menjadi jamaah di masjid di kampungnya. Hal-hal begini juga patut dipertimbangkan untuk menyediakan ruang beribadah yang nyaman dan tidak memelihara konflik antar jamaah, cepat diselesaikan. Karena juga, memilih di tempat mana orang beribadah, itu adalah pilihannya karena alasan-alasan tertentu dan kita tak bisa menghalanginya dengan alasan apapun. Itu hak asasi yang paling asasi, kalau itu sudah berkait dengan keyakinan. Hal-hal begini butuh pemahaman yang benar agar kita tak terjebak dan mudah menjustifikasi orang lain. Karena dalam banyak hal, orang lain salah berawal dari pikiran kita yang justru salah.

Tentu berbeda konteks jika “harbata” [baca, konflik] itu terjadi di tempat yang berbeda fungsinya. Taruhlah itu, di kesempatan kerja bakti di kantor kelurahan misalnya. Setiap kita pasti berpikir menghindari hal-hal atau potensi yang mungkin akan “merusak hati” dan ketenangan beribadah. Kita semua tahu bahwa hati itu tak akan mungkin berbohong meski serapi apapun, anda mengekspresikan dhohir anda.

Bagaimana rasanya anda berniat tulus hingga merencanakan membantu kerabat dan tetangga anda tapi belum lama berselang, anda yang justru lebih dulu “diserang”? Sensasi itu, beruntung saya mengalaminya karena dia menjadi sensasi langka dalam hidup, hingga menjadi teka-teki dan materi kontemplasi di setiap waktu tentang kemahakuasaan-Nya membolak-balikkan hati hamba-Nya.

Bagaimana rasanya seolah menjadi “pengemis”, mencari-cari kepastian diundang atau tidak, untuk bisa menghadiri hajatan haji tetangga, yang lama tak terurai salah paham dan konflik berkepanjangan, hanya untuk menjadikannya “jembatan islah” untuk berbaik lagi sebagai tetangga, padahal itu bukan kita yang memulai konflik itu. Tentu ini hal langka sekaligus lucu, yang disyukuri karena saya mengalaminya juga. Dan masih banyak lagi hal-hal begini. Dan selama tidak terjadi forum klarifikasi dan islah tadi, selama itu pula, anda pasti merasakan ada sesuatu yang belum beres, jika anda punya cukup penghayatan arti hidup bertetangga.

Pasti ditanya, mengapa saya perlu menulis ini. Alasannya soal filosofi media, entah itu media cetak atau media sosial, atau lebih tepatnya filosofi “bermedia”. Sebagai mantan jurnalis, saya memahami bahwa sebuah informasi yang telah mem-publish, dia menjadi hak publik untuk mengetahui implikasi hingga ending-nya dan di media yang sama. Ini perlu ditegaskan karena banyak fakta pengguna media kita, belum memahaminya dan berpotensi terjadi pertentangan. Simpelnya, salah paham karena dipicu salah pemahaman karena kurang berpengetahuan. Itu banyak terjadi di sekitar kita.

Dari “forum islah” di jeda antara saat Magrib dan Isya itu, saya belajar memaknai banyak hal. Dan mungkin juga kita semua, bahwa makna operasional yang paling dekat dan paling berpotensi terjadi kesalahan menempatkan konteks istilah kecerdasan emosional karena mungkin, kita punya kadar sensitivitas dan peduli yang rendah dalam “menanggapi” sebuah situasi konflik di depan mata. Padahal kita yang seharusnya punya kapasitas untuk memikirkan penyelesaiannya tapi itu tak terpikirkan karena tidak sensitif melihat sumber masalah. Ketika jadi persoalan, kita menahan diri untuk menanggapinya dan menganggap itu adalah kecerdasan emosional. Padahal itu keliru konteksnya. Kita tak sensitif memahami suasana bathin orang yang merasa tersinggung karena merasa tak bersalah tadi, bahkan tak peduli dan menganggapnya hal biasa, di situlah kita dipandang tidak cerdas emosi, bukan orang yang tersinggung tadi. Dia tersinggung yang wajar sedangkan kita menanggapi yang tak wajar karena tak sensitif dan jeli membaca suasana hati orang lain. Hal-hal begini, kadang kita serampangan dalam melekatkan konteks istilah pada sesuatu fakta.

Sekali lagi, saya sengaja menulis hal-hal begini untuk memenuhi hak publik melengkapi informasinya, melengkapi pemahaman dan untuk mengambil i’tibar dan pelajaran hidup meski saya bukan ustaz atau agamawan. Saya juga tak merasa menjadi “pemenang” di forum itu, dan saudara-saudara saya, para anggota badan ta’mir ini, tak merasa sebagai pihak yang “kalah”. Selama prinsip objektivitas telah ditegakkan, kalah-menang itu soal lain.