Oleh: Anwar Husen
Kolomnis/Tinggal di Tidore
______
SAAT hendak menemukan alasan untuk belum bisa menepati janji seorang karib untuk bisa bersama dalam sesuatu hajatan, saya dengan terpaksa, harus jujur beralasan bahwa di waktu yang sama, saya dan keluarga harus menghadiri acara wisuda buah hati sulung saya, Saffanah Rizkah Muttaqinah di Makassar, sesuatu yang saya niatkan untuk “disembunyikan” sementara waktu. Karib ini spontan menunjukkan ekspresi riang sembari mengulurkan tangan tanda memberi ucapan selamat, setelah tahu bahwa si sulung Saffanah kuliahnya di Fakultas Kedokteran. Iya, di Universitas Muslim Indonesia, Makassar.
Sedikitnya dia memuji dan memberi apresiasi. Dia mungkin saja beranggapan, saya punya lebih dari cukup sumber daya untuk bisa memberi kesempatan kuliah buat sang anak di universitas swasta, di fakultas paling bergengsi pula dan di jalur masuk yang “paling menakutkan”, jalur mandiri. Karib saya ini, mungkin juga tahu. Pun, teman-teman yang mengalami hal sama dengan saya, pasti tahu jawabannya.
Karena alasan itu pula, sejujurnya, saya tak bisa menyembunyikan rasa haru dan tak spontan menjawab “klaim” karib saya tadi, tetapi setelah beberapa saat. Itupun dibumbui sedikit canda, anda tak tahu keadaannya, jangan melihat kulit luarnya.
Apa keadaan itu? Mungkin kondisi objektif sistem pendidikan kita di negara ini, saat ini.
Sebagai orang yang pernah punya pengalaman mengelola institusi pendidikan meski di level pemerintahan daerah, saya sedikit memahami orientasi hingga filosofinya saat ini. Anda-anda juga mungkin paham, apalagi yang telah merasakannya. Kita hanya keciprat dampak sistemiknya.
Dalam sebuah tayangan diskusi di televisi, Margarito Kamis, yang juga putra asal Maluku Utara, pernah mengungkap informasi adanya tunggakan biaya pendidikan anak-anak yang berasal dari sebuah daerah di Maluku Utara , yang kaya potensi pertambangannya. Tak tanggung-tanggung, tunggakan itu bernilai puluhan miliar rupiah. Mungkin saja informasi ini menunjuk para mahasiswa yang disubsidi pemerintahnya di fakultas bergengsi di sebuah universitas negeri di Maluku Utara. Fakultas itu mungkin saja sama dengan fakultasnya si sulung saya tadi. Bedanya status, negeri dan swasta. Kita mungkin bisa berandai-andai, sekelas lembaga pemerintah saja nyaris “lempar handuk” padahal status universitasnya bisa “sedikit menolong” dari sisi biaya masuk. Bagaimana nasibnya jika di swasta. Tentu lebih berat lagi.
Sedikitnya, saya punya beberapa “informasi tidak resmi” soal biaya pangkal, atau nama lain darinya, untuk bisa masuk di “fakultas bergengsi” ini di beberapa perguruan tinggi ternama di negeri ini melalui jalur mandiri ataupun nama lain bagi yang tak lolos masuk melalui jalur SBMPTN, sebagai salah satu opsinya.
Kita mungkin sudah sering mendengar informasi melalui berita media soal ini. Bahkan pernah ada pengakuan pihak tertentu yang mangalaminya di sebuah perguruan tinggi negeri yang “mengklaim diri” paling jauh dari praktik komersialisasi institusi pendidikan selevel perguruan tinggi ternama. Ada istilah jual seat atau kursi masuk.
Tinggalkan Balasan