Menurut Dimas, kasus kekerasan jurnalis yang melibatkan aparat negara bukan kali ini saja terjadi. Seperti kasus pembunuhan terhadap Jurnalis Bernas–kantor berita lokal asal Yogyakarta– Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin yang terjadi pada 13 Agustus 1996.
Jurnalis Udin ditemukan meninggal di rumahnya dalam keadaan penuh luka pada bagian kepala sebelum akhirnya meninggal sesaat dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan.
Dalam proses investigasi yang dilakukan, pembunuhan jurnalis Udin berkaitan dengan pemberitaan terkait dugaan korupsi Sri Roso Sudami Bupati Bantul yang memiliki latar belakang militer dan saat itu hendak mencalonkan kembali sebagai kepala daerah. Dugaan pelaku lapangannya berasal dari aparat militer yang memiliki relasi dengan Sri Roso Sudami.
Belum tuntas kasus jurnalis Udin, lanjut Dimas, peristiwa kekerasan dan penghalang-halangan oleh aparat negara terhadap kerja-kerja pers terjadi pasca reformasi. Tepatnya pada 27 Maret 2021 kala itu, jurnalis Tempo, Nurhadi yang sedang mendalami dugaan tindak pidana korupsi terhadap Direktur Pemeriksaan Dirjen Pajak Angin Prayitno yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka KPK.
Nurhadi ketika itu hendak meminta konfirmasi kepada Angin Prayitno yang sedang menghadiri acara pernikahan di gedung, Surabaya. Namun ketika hendak melakukan wawancara, Nurhadi dihalang-halangi oleh anggota kepolisian yang sedang berjaga hingga melakukan kekerasan dengan cara memiting leher Nurhadi.
“Dalam kasus yang menimpa Sukandi Ali, kami menilai tindakan yang dilakukan oleh kedua prajurit TNI-AL tersebut merupakan bentuk ancaman nyata terhadap penghalangan kerja-kerja jurnalistik yang sangat membahayakan kebebasan pers di Indonesia. Diabaikannya mekanisme akuntabilitas hukum dan tiadanya perhatian dalam memberikan jaminan pemulihan kepada korban menjadikan kasus-kasus kekerasan terus terjadi,” jelas Dimas.
Tinggalkan Balasan