Oleh: M. Ahsan
Praktisi Hukum
_______
DULU, bentuk negara di dunia ini adalah kerajaan di mana kekuasaan tertinggi adalah di tangan raja. Rakyat tidak mungkin bisa menjadi raja kalau bukan keturunan dari keluarga raja. Jabatan raja adalah warisan, bukan pemilihan. Namun ketika demokrasi datang di barat dan diekspor ke dunia, otoritas raja itu berpindah ke tangan rakyat. Kerajaan berubah menjadi negara. Kedaulatan apa saja adalah milik rakyat. Tetapi mustahil seluruh rakyat jadi raja atau pemimpin, maka mereka bikin pemilu untuk memilih siapa yang jadi Presiden, Gubernur, Bupati/Wali kota, DPR dan DPRD. Manusia percaya inilah sistem yang sempurna. Sistem inilah yang disebut demokrasi. Di dalam demokrasi semua rakyat memiliki kesempatan yang sama untuk jadi pemimpin.
Namun manusia lupa tidak ada sistem yang sempurna, demokrasi juga memiliki kelemahan. Demokrasi bukanlah ukuran kualitas melainkan kuantitas. Dalam demokrasi dengan sistem one man one vote, suara seorang guru besar ilmu politik misalnya disamakan dengan suara seorang buta huruf. Jadi kalau ada 1 juta orang memilih pemimpin dan 600 ribu orang itu berpikiran salah dalam memilih pemimpin A, maka jadilah A seorang pemimpin. Itulah demokrasi di mana angka dan jumlah yang menentukan bukan kualitas. Padahal dalam memilih pemimpin dibutuhkan kematangan dan kecerdasan untuk menilai layak tidaknya seseorang menjadi pemimpin.
Inilah yang disadari oleh pendiri bangsa kita dengan tidak menelan mentah-mentah demokrasi liberal ala barat tapi demokrasi yang disesuaikan dengan keadaan bangsa Indonesia yang beraneka ragam bahasa, ras, suku dan agama. Dan sistem demokrasi yang dipilih adalah demokrasi perwakilan. Dalam demokrasi perwakilan rakyat memilih wakil-wakilnya di parlemen/DPR(D), dan wakil-wakil rakyat yang di parlemen inilah yang akan bermusyawarah, berdebat, adu argumentasi untuk menentukan pilihan siapa yang layak menjadi Presiden, Gubernur, Bupati dan wali kota. Mereka berdebat mati-matian tapi hanya di dalam forum, setelah selesai proses pemilihan semua bersatu kembali demi kepentingan bangsa dan negara.
Tapi setelah era reformasi datang, rakyat tidak percaya lagi dengan wakil-wakilnya untuk memilih Presiden, Gubernur, Bupati dan walikota. mereka ingin memilih langsung pemimpinya. Rakyat dan pemerintah kemudian sepakat mengadakan pemilihan langsung untuk memilih Presiden dan kepada daerah. Kita meninggalkan demokrasi Pancasila dan memberlakukan penuh demokrasi liberal. Partai-partai politik tidak lagi dibatasi. Sudah empat kali sejak era reformasi kita mengadakan pemilihan langsung Presiden dan kepala daerah. Namun ternyata pemilihan langsung tidak seindah yang dibayangkan.
——————
Belum lama ini Menteri Pertahanan yang juga calon presiden terpilih Prabowo subianto mengatakan bahwa demokrasi yang saat ini dilaksanakan di Indonesia begitu melelahkan dan menelan biaya yang sangat besar.
Pernyataan Prabowo ini menimbulkan beragam tanggapan dari berbagai kalangan. Namun terlepas pro dan kontra pernyataan Prabowo tersebut, saya sependapat bahwa sistem pemilihan langsung yang kita terapkan saat ini memang sangat melelahkan. Bagaimana tidak melelahkan, Indonesia ini memiliki jumlah penduduk terbesar keempat di dunia dengan 17.000 pulau yang tersebar di berbagai wilayah yang kadang sulit dijangkau dengan transportasi biasa. Untuk menyelenggarakan pemungutan suara kita memerlukan 820 ribu tempat pemungutan suara (TPS) di seluruh Indonesia. Belum lagi penyelenggara dan pelaksana pemungutan suara tidak bisa dijamin independensinya untuk berlaku jujur dan adil sehingga hal ini rawan terjadinya kecurangan, penyimpangan dan pelanggaran yang dapat menimbulkan gesekan dan konflik di masyarakat.
Kita telah memilih untuk melaksanakan demokrasi langsung tapi kita tidak mengkritisi apakah demokrasi langsung ini sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa kita. Sejak dipraktikkan pada zaman Yunani kuno, Plato dan Aristoteles telah melontarkan kritiknya terhadap demokrasi langsung ini. Mereka mengatakan bahwa proses politik yang melibatkan seluruh rakyat tanpa kecuali untuk ikut memilih dianggap potensial melahirkan anarki oleh karenanya praktik demokrasi harus dibatasi. Untuk menghindari anarki, hak politik (untuk menjadi pejabat negara) tidak boleh diberikan kepada siapa saja melainkan hanya untuk mereka yang terpilih, yakni para philosopher kings (orang-orang yang berpengetahuan).
Hal senada disampaikan oleh Francis fukuyama dalam bukunya the End of History and The Last Man. Beliau menulis bahwa sangat sulit dibayangkan sebuah demokrasi bisa berfungsi dengan baik dalam masyarakat yang mayoritasnya buta aksara (kurang pendidikan dan pengetahuan), di mana rakyatnya tidak dapat memahami dan mencerna informasi yang tersedia untuk dapat melakukan pilihan yang benar.
Demokrasi langsung yang kita terapkan sebenarnya tidak cocok dengan kultur asli bangsa kita yang lebih mengutamakan musyawarah (QS. Assyura ayat 38). Jadi sudah saatnya Kita harus mengubah sistem pemilihan langsung yang berlaku saat ini. Sistem pemilihan langsung yang sangat mengandalkan kekuatan uang, membuat sekelompok orang, sekelompok pemodal atau kepentingan asing dengan mudah dan murah membajak negeri ini melalui proses demokrasi. Oleh karena itu ke depan, kita harus mengembalikan sistem pemilihan Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota kembali kepada DPR, DPRD sebagaimana yang diamanatkan oleh sila ke 4 Pancasila yaitu Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan di mana DPR dan DPRD sebagai representasi wakil rakyat yang akan bermusyawarah untuk memilih Presiden atau kepala daerah. Memilih pemimpin jangan diserahkan kepada semua orang karena dalam memilih pemimpin dibutuhkan kematangan emosi dan kecerdasan dan tidak semua orang memilih kapasitas itu.
Mengapa kita harus kembali ke sistem perwakilan untuk memilih presiden dan kepala daerah? Sebab sistem pemilihan langsung yang kita terapkan selama ini ternyata lebih banyak membawa mudarat daripada manfaatnya karena beberapa hal:
Tinggalkan Balasan