Bagi saya, ini soal pemahaman hingga prilaku keberagamaan. Para pemuka, para ustaz, mubalig hingga institusi agama harus memiliki level pemahaman yang lebih untuk menarik umat ini ke tingkatan lebih tinggi. Tidak bisa bertahan dengan mindset dan pemahaman beragama karena sebab-sebab kelahiran saja.

Ahli hakikat sering berpesan untuk bisa mengambil pesan batin dari kisah Nabi di Gua Hira saat menerima wahyu dari Tuhan. Bahwa syariat beragama itu menjadi “berbentuk” setelah sekembalinya Nabi dari bebukitan batu itu. Mestinya pertanyaannya menjadi, ada apa dengan Gua Hira? Jangan membiasakan “membalik logika” dalam praktik beragama kita hingga memandang bahwa seakan-akan kitalah yang paling hebat. Saya terkesan dengan kata-kata karib di sebuah postingan di Facebook: saya tahu dan saya paham apa yang terjadi, tetapi saya sengaja untuk diam agar anda merasa hebat.

Entah ada yang dia maksudkan. Tetapi juga sangat simbolik untuk banyak situasi. Saya mengingat sebuah ungkapan sufistik dari sang sufi besar, Al-Ghazali, yang karyanya, Misykat Al-Anwar [Cahaya di atas Cahaya], dianggap sebagai puncak dan maha karya sufistiknya, yang saya sematkan pada pembuka tulisan ilmiah saya, saat mengakhiri sarjana pertama dulu, sebagai kata-kata motivasi: lebih dari kegelapan malam tanpa terang bintang, adalah kegelapan hati tanpa ilmu pengetahuan.

Selalu saja tak lengkap jika tak ada guyon yang bikin WAG kami ini “jadi rame” dan mengundang tawa. Senior Masryoni “Oni” Nabiu “menyimpulkan” diskusi ini dengan kata-kata ini: di Ternate, bukan cuma toa masjid tapi juga sound mobil angkot yang bunyinya dikira diskotik berjalan. Wallahua’lam. (*)