Tak diduga, respon anggota WAG ini bersemangat dan beragam. Meski tema-tema tentang “keributan sosial” ini sudah sering saya tulis. Bahkan tema inipun sudah sering berulang. Para senior yang akademisi, politisi hingga yang dianggap cukup pengetahuan agamanya, turut nimbrung. Ada Darsis Humah, Badar Gailea, Hasyim ‘Bang Chimot’, Musryoni Nabiu, Mashuri Chalid hingga Syaiful Bahri Ruray, Moksen Sirfefa dan Shadik Diadon, yang bermukim di Jakarta. Dan juga beberapa teman lain.

Tanggapan dan pandangannya beragam hingga saya merasa bahwa ini menjadi salah satu diskusi WAG yang nyaris mengantar pada pemahaman bersama, kalau tak bisa disebut kesimpulan. Berbeda dengan di lain waktu hingga di lain WAG, yang terkesan “gado-gado”.

Ada yang cenderung menerima pandangan saya, ada yang melihatnya dari sudut teologis, membandingkan kondisi serupa di daerah yang mayoritas bukan muslim, ada yang berandai membalikkan fakta ini dengan “sudut pandang” Tuhan, hingga menjadikan “prototipe” masyarakat negara tertentu yang begitu merindukan ketenangannya dalam kehidupan di lingkungannya. Benar-benar diskusi singkat yang mencerahkan, meski diselingi tawa yang menghibur.

Bagi saya, tak ada yang salah dengan meminta donasi. Toh, orang yang berkelebihan rejeki, juga berharap bisa bertemu “relawan donasi” ini di perjalanannya. Mungkin akan memudahkannya. Meski bagi senior Moksen Sirfefa tadi, di Ramadan, di sepanjang jalan yang sering dilaluinya, berjejeran kotak donasi dengan alasan bermacam-macam. Taruhlah itu bukan soalnya. Soalnya ada pada cara kita. Cara memilih tempat dan memikat calon donatur. Saya berseloroh bahwa kantor Pegadaian berjarak tak lebih 50 meter dari perempatan tempat bunyi-bunyi musik qasidah tadi, tidakkah kita sempat terpikir untuk bercermin pada branding-nya yang sudah familiar itu. Mengatasi Masalah Tanpa Masalah, donasi pembangunan masjid tanpa berurusan di kantor polisi.

Saya bahkan hingga bercanda, berharap ada lakalantas, agar pelakunya bisa beralasan di kantor polisi bahwa bunyi kendaraan hingga klaksonnya tak terdengar, hingga bunyi kendaraan sekalipun. Ini berkorelasi juga dengan komentar saya di sebuah WAG lain ketika ada teman yang mengirim potongan video singkat lakalantas anak-anak yang mengendarai sepeda listrik. Karena suka atau tidak, indera dengar sangat kuat terasosiasi dengan bunyi kendaraan saat berkendara. Bunyi kendaraan juga jadi sebab para orang tua mewanti-wanti anak-anak mereka saat sedang berada, hingga bermain di jalanan. Bukan mata sebagai indera penglihatan yang diandalkan.

Sama seperti memutar pengajian di toa masjid-masjid, apalagi yang “tanpa spasi” seperti murrotal. Pengelola masjid yang punya pengetahuan cukup dan akal yang waras, akan berpikir bahwa pengajian disertai terjemahannya adalah pilihan paling tinggi nilai edukasinya, khususnya bagi kelompok usia kanak-kanak, karena alasan di atas tadi. Bukan sekadar gaya-gayaan, ikut-ikutan tanpa tahu maksudnya.

Sama lagi dengan mindset memutar lagu-lagu di menara masjid di saat-saat tertentu, yang lucunya dikira itu adalah tembang religi karena mungkin syairnya bernuansa kearab-araban. Kita mencoba meniru-niru tapi tak cukup pengetahuan. Ini hal-hal yang mungkin dianggap sepele tetapi adalah gambaran mindset umat yang kita temui setiap waktu, hingga di tiris-tiris rumah kita.