Oleh: Hudan Irsyadi
Dosen Antropologi FIB Unkhair & Pendiri Yayasan SiDeGo
_______
AKHIR-akhir ini masyarakat Indonesia dipertontonkan dengan pelbagai kritikan yang dilayangkan kepada pemerintah (presiden) atas nama demokrasi. Keran kritikan dimulai oleh forum guru besar Universitas Gadjah Mada pada tanggal 31 Januari 2024, selanjutnya diikuti oleh berbagai sivitas akademika di perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Tercatat kurang lebih 30 kampus yang melayangkan petisi berupa kritikan terhadap Presiden Jokowi dan Pemilu 2024.

Tak cukup sampai di situ, berbagai elemen masyarakat berupa lembaga maupun komunitas turut meramaikan dengan mendeklarasikan petisi atas kerapuhan praktik berdemokrasi di bawah kepemimpinan presiden Jokowi. Jika ditelaah, puncaknya tatkala pengangkatan Gibran Rakabuming Raka sebagai pasangan wakil presiden dari Prabowo Subianto yang menimbulkan banyak polemik. Bahkan aroma nepotisme pun menyengat.

Diketahui bahwa lolosnya Gibran sebagai calon wakil presiden atas “jasa” Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman – paman Gibran – dengan cara mengubah batas minimal usia pencalonan presiden dan wakil presiden. Hal ini kemudian dinilai cacat hukum, dan belakangan Anwar pun divonis melakukan pelanggaran kode etik.

​Pada aras ini, kita pun bertanya di mana nilai integritas seorang ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Jika integritas terabaikan karena atas nepotisme semata, maka buat apa pengambilan sumpah jabatan. Alih-alih di bawah naungan penguasa tetapi lupa dengan Yang Maha Kuasa sehingga peta jalan demokrasi presiden Jokowi pun tercederai. Sebelumnya, mungkin masih segar di ingatan kita mengenai wacana tiga periode presiden yang kemudian dibatalkan – tidak disetujui – oleh DPR. Dari titik inilah, masyarakat yang sebelumnya memuji pemerintahan Jokowi kini balik menyerang dengan melakukan aksi protes terkait ketidaknetralan presiden yang semakin nampak sejak Gibran ditetapkan sebagai calon wakil presiden. Namun yang menarik dari aksi protes itu datang dari para sivitas akademika, seperti guru besar dan dosen. Bahkan mereka dengan lantang menyuarakan kekecewaan terhadap presiden Jokowi yang telah “gagal” menjaga marwah demokrasi dalam berbangsa dan bernegara.

Framing Media

Bangsa Indonesia akhirnya menghelat pesta demokrasi. Di mulai dari pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi sampai dengan DPRD Kabupaten/Kota. Disadari, untuk sampai pada hajatan lima tahunan itu telah banyak peristiwa yang tersajikan melalui media massa, baik dalam bentuk online maupun televisi. Sajian media inilah yang kemudian saya mencoba membingkainya (framing).

Saat ini framing media yang menarik adalah rentetan peristiwa dari gelombang protes yang datang dari sivitas akademika. Realitas menuju pesta demokrasi bangsa Indoensia pun mendapat sorotan yang beragam. Pada titik inilah saya mencoba membingkai realitas tersebut dengan menggunakan analisis framing.

Eriyanto (2002) menjelaskan framing adalah sebuah metode untuk melihat cara bercerita media atas peristiwa. Artinya bagaimana media mengonstruksi realitas. Pada pembacaan di sini, saya akan mengklasifikasikan ke dalam dua peristiwa yang dibingkai oleh media, pertama: Gelombang protes oleh para sivitas akademika dan; kedua: pihak yang membela presiden Jokowi.