Sampel lain. Pagi tadi saya membaca berita di twitter (X), Gubernur Jambi, Mulka Al Haris, “murka” ke pengusaha batubara yang hanya mengambil untungnya tanpa memikirkan jalan hauling yang menghubungkan ke perusahaan mereka. Di Tidore, PLTD Rum menggunakan jalan umum untuk mengangkut material batubara dari pelabuhan laut ke ruang produksi perusahaan itu. Tidak ada jalan penghubungnya sendiri.
Saya beberapa kali menemui efek di jalan umum di depan perusahaan itu. Situasi tidak mengenakkan pasti ditemui setiap pengendara di area ini, di saat ada pembongkaran material. Fasilitas umum menjadi alasan bagi setiap orang untuk memanfaatkan sekehendaknya. Beberapa kali, dan terakhir kemarin saat menempuh jalur belakang pulau ini, ada hajatan keluarga yang menggunakan badan jalan, persis di posisi yang potensial terjadi lakalantas. Sepertinya “jenis penyakit” ini sedang “kololi kie“, berkeliling gunung.
Berpuluh tahun lalu, ketika mendapatkan informasi tata cara pembagian zakat fitrah yang tak sesuai ketentuan syariat di sebuah masjid, saya mengusulkan dibuatkan bimbingan teknis soal ini untuk para pengelola masjid di Pemerintah Daerah Kota Tidore, dan itu dilakukan. Sangat sederhana, akan dilakukan tetapi kurang pengetahuan tentangnya. Itu alasannya. Sama seperti pengendara bentor tadi, mau untuk berlaku tertib tapi belum tahu caranya. Toh, mereka juga bukan rata-rata yang berlatar pendidikan cukup. Lantas bagaimana “cara murah-meriah” yang bisa dilakukan sebagai pembelajaran buat mereka? Simpel sekali: luangkan waktu paling sedikit 1 jam memandu mereka di jalanan umum untuk beberapa aturan dasar berlalu lintas melalui media parade berlalulintas. Siapa yang bikin nanti, silakan beradu peduli bagi yang diberi kewenangan untuk harus peduli.
Apa sejatinya perilaku warga kota yang hakiki? Taat pada aturan. Kota tidak sekadar penamaan menurut level dan klasifikasi dalam hierarki berpemerintahan. Kota mestinya berwujud pada mentalitas dan perilaku warganya, taat pada aturan sebagai simbol masyarakat modern. Kita sering kali memberi ekspektasi yang begitu tinggi pada kinerja pemerintah dalam menata wajah kota secara fisik tetapi kita lalai untuk turut bersama membangun “batiniah kota”, warga yang bermartabat tinggi dan jadi pelopor penegakan aturan hidup bermasyarakat. Singapura adalah contoh negara yang karakter warganya lama dibangun untuk membentuk aspek batiniah sebuah kota modern. Dan semangatnya satu, disiplin untuk taat pada aturan, sejak bangun tidur hingga tidur lagi.
Mindset keutuhan arsitek kita pada fasilitas publik, relatif mengabaikan space untuk parkir kendaraan. Hampir dianggap tak penting bagi sebuah entitas berkategori kota. Jalan umum masih jadi ruang parkir yang paling simpel. Kita merencanakan sebuah sarana publik berwawasan pelayanan kekinian tetapi berasumsi seolah kita masih mengandalkan jalan kaki untuk menempuhnya, bukan berkendara sehingga lupa merencanakannya. Alhasil jalan raya kita memikul beban yang multifungsi. Dari ruang parkir, acara kawinan hingga pesta muda-mudi. Tak luput, ruang evakuasi material batubara. Padahal kita tak kehabisan space.
Kita sering sekali menggaungkan identitas sebagai pusat peradaban dunia di masa lampau. Itu masa lampau, ratusan hingga ribuan tahun lalu dan sudah kehilangan konteksnya. Beberapa waktu terakhir di daerah ini, jazirah “pusat peradaban” sedang mengingkari hingga menyesali romantisme masa lalunya, sebuah fakta yang benar-benar paradoks. Dan serpihan cermin retak tadi, salah satunya ada pada perilaku kita, mudah bertaruh dengan risiko nyawa manusia, sebuah lanskap mentalitas dan prrilaku buruk berkendara di jalan raya, yang mengorbankan sang ibu tua tadi, yang mungkin saja sedang dirindui cucunya di rumah, berharap ada “ole-ole” dari pasar tetapi malah “mampir” di RSUD. Adakah lagi yang lebih berharga dari nyawa manusia? Wallahua’lam. (*)
Tinggalkan Balasan