Hal itu tentu saja memberikan dampak kekecewaan yang besar bagi masyarakat atas hasil pemilu. Sebagaimana dalam bahasa Thomas Hobs “Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya,” elite politik mejadi serigala yang menerkam rakyatnya. Lebih lanjut perihal kekecewaan, Goenawan Mohamad (GM) telah membahasnya dalam buku “Demokrasi dan Kekecewaan.” Di mana proses demokrasi Indonesia sejak awal memang sudah kehilangan kepercayaan. Ketidakpercayaan itu akibat dari kekuasaan yang diperoleh melalui konspirasi elite politik lewat demokrasi. Proses demokrasi tidak melahirkan perubahan dan perjuangan, namun menghasilkan kekuasan yang absolut yang perpusat pada kelompok elit tertentu.
Realitas politik dan pemerintahan hari-hari ini telah membenarkan kegelisahan GM, proses demokrasi hari ini melahirkan korupsi, dinasti politik, dan oligarki. Korupsi kepala daerah dan DPR/DPRD terus terjadi, dinasti politik sudah mengkar hinga level daerah, dan jabatan strategis negara sebagian besar telah dikendalikan oleh oligarki.
Kalau kita membaca data hasil survei Indo Barometer mengenai kepercayaan publik terhadap lembaga negara, menunjukkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan lembaga yang paling tidak dipercaya oleh publik. Di sisi lain, banyak penelitian menunjukan bahwa kekuasaan eksekutif sebagian besar dikuasai oleh dinasti politik baik di level nasional maupun lokal.
Dengan demikian kita perlu mengoreksi kembali demokrasi yang sedang berlangsung. Untuk melakukan pengoreksian itu, dapat dimulai dengan mengoreksi kampanye yang sedang berlangsung. Mengapa kampanye? Karena kampanye mejadi pintu masuk menuju kursi kekuasaan. Kampanye memobilisasi massa dengan waktu yang terbatas membutuhkan modal yang besar. Format kampanye yang ada sangat menguntungkan bagi kandidat yang terhubung dengan kekuasaan sebelumnya atau dinasti politik dengan potensi kemenangan yang besar. Bagi kandidat yang tidak memiliki legitimasi dinasti politik dan oligarki harus berjuang dua kali lipat lebih keras untuk mendapatkan kekuasaan.
Kampanye yang ada memiliki beberapa segi kelemahan. Di mana kampanye selama ini hanya dimaknai secara sempit yaitu sebagai kampanye Pemilu. Firmanzah (2012) dalam bukunya “Marketing Politik” menjelaskan kelemahan kampanye pemilu di antaranya: Pertama, interaksi politik hanya terjadi pada periode kampanye. Kedua, komunikasi politik yang tidak maksimal, sehingga dikhawatirkan tidak terjadi kesamaan paham dan presepsi dalam pemilu. Ketiga, publik hanya sekadar pemberi suara untuk memenangkan pemilu dan selebihnya ketika pesta demokrasi telah selesai publik tidak lagi penting. Keempat, rendahnya pelaksanaan pendidikan politik yang pada akhirnya melahirkan sikap apatis dan kecenderungan untuk golput.
Untuk itu, agar tidak ada kekecewaan di kemudian hari terutama pasca pemilu, maka yang menjadi agenda besar yang harus dicapai yaitu mengembalikan politik sebagai agenda perjuangan. Kampanye pemilu harus diganti dengan kampanye politik, sehingga interaksi politik atara masyarakat dengan partai politik dan elite politik tidak hanya pada momen kampanye, namun interaksi poilitik terjadi terus-menerus secara permanen. Selain itu, kampanye juga harus menjadi agenda komunikasi politik dan pendidikan politik bagi masyarakat. Dengan begitu, hasil pemilu dapat melahirkan para wakil-wakil rakyat yang meimiliki kemauan, kemampuan membangun, memberikan rasa keadilan, dan mempercepat kesejahteraan masyarakat. Sebagai konsekuensinya pemilu 2024 harus mengakhiri korupsi, dinasti politik, dan oligarki yang sudah semakin kokoh. (*)
Tinggalkan Balasan