Tetapi dalam banyak kasus juga, saya bisa keliru karena “penyakit” mudah lupa ini, juga menjangkiti para orang dewasa bahkan orang tua. Bisa dari melupakan kondisi ekonomi hingga karir jabatan yang didapat karena melalui “ujung pena kebaikan” orang-orang tertentu. Kita mestinya senantiasa berusaha mengenang kebaikan orang-orang tertentu yang sangat berpengaruh mengubah kondisi kita. Tak semata sebagai ungkapan rasa terima kasih dan memupuk empati. Sekurang-kurang menjaga rasa dan tak menyakiti mereka. Menimbang-nimbang sensitivitas dan “kadar keadilan”, harus senantiasa menjadi dasar agar kita terlatih untuk memilah dan bisa berlaku adil dan bijaksana dalam memilih sudut pandang. Sedikit kesalahan orang pada kita saat ini, tak bisa ditakar dengan nilai uang lima ribu rupiah sebagai ongkos angkutan kota ketika kita sedang kebingungan karena bergegas menuju tempat ujian sarjana berpuluh tahun lalu.

Lebih hakiki, tidak menyakiti orang yang pernah berbuat baik hingga mengubah hidup kita, adalah untuk menegaskan agar Tuhan “tak menyesal”, menisbatkan predikat-Nya kepada manusia sebagai makhluk-Nya yang paling mulia.

Untuk kesekian kalinya, kita masih harus belajar lagi pada mereka. Pada latar budaya hingga keyakinan pembuat video pendek kisah Direktur Hao dan Direktris Jiao tadi. Sekali lagi, tak penting bahwa kisah itu hanya rekaan. Sekurang-kurangnya, poin inspirasi yang sebegitu mulia, ada pada mereka, pada pesan Hao buat Jiao ketika memberi setumpukan uang tadi, yang mengantarkan pada kesadaran tertinggi kemanusiaan direktris Jiao, kala terisak di hadapan Hao, dermawannya 10 tahun lalu: kau telah menyelamatkan keluargaku saat itu, membiayai sekolahku sampai aku lulus kuliah. Sekarang aku sudah sukses. Aku juga membantu anak di pegunungan yang di landa kemiskinan. Kau telah mengajari berbuat baik, membuat aku merasakan di dunia ini masih ada kasih sayang dan kehangatan. Wallahua’lam. (*)