Tetangga saya di kediaman orang tua, seorang ibu, punya “kesenangan” sendiri, menampung anak-anak yang bersekolah di tahun itu, akhir 70-an hingga 80-an. Mulai yang asalnya dari sejumlah kampung di pulau Tidore hingga di sepanjang pulau Halmahera. Bergantian datang dan pergi di waktu lama. Saya kecil, adalah salah satu saksinya. Maklum di tahun itu, soal akses hingga dalam banyak hal, belum seperti saat ini. Istilah yang diakrabi saat itu “ana piara” [anak dalam peliharaan pengampu]. Mereka datang untuk bersekolah di sini. Mungkin sama juga dengan di tempat lain. Sedikit banyak pertautan pertemanan kami dibangun dengan mereka-mereka ini, yang kerap berganti setiap waktu jika telah kelar sekolah. Di deretan mereka, ada pejabat tinggi di daerah ini, di saat ini.

Di saat mereka telah mapan hidupnya beberapa waktu kemudian, tak lupa mereka menyambangi kediaman sang ibu tadi, yang kini telah renta. Mungkin sebagai tanda syukur, ungkapan terima kasih sekaligus menautkan silaturahmi.

*******

Di kampung asal orang tua saya, pernah seorang ibu mengisahkan ini ke saya. Bahwa di masa balita, ketika almarhumah ibu saya, yang setiap waktu menjajakan ikan ke sepanjang kampung di pesisir, dia sering menggendong saya hingga mengurusi layaknya anak sendiri. Saya terdiam membatin karena menancap begitu kuat dalam episentrum kesadaran kemanusiaan. Saya kemudian menulis inspirasi ini dalam sebuah naskah khutbah Jumat di harian Malut Pos. Saya menyebut fase kebaikan orang pada kita di saat balita sebagai sesuatu nilai kebaikan penting di fase hidup kita, dengan istilah “spasi hidup” atau “ruang kosong kesadaran”, di mana kita belum cukup kesadaran untuk memahaminya.

*******

Di sebuah tulisan media, saya membaca dengan sedikit membatin. Ada seorang mantan kepala daerah yang saya kenal, punya cukup integritas diri, dilaporkan ke penegak hukum dengan alasan utang piutang karena janji paket kegiatan di sebuah pemerintahan yang belum tertunai. Kabarnya, mereka adalah keluarga yang “dibesarkan” sang mantan bupati di sebuah kabupaten besar ini, di masanya, 10 tahun itu. Kini, anak sang mantan bupati itu, menjadi bupati paling muda di provinsi ini, di daerah yang sama.

*******

Mungkin, ini hanya sedikit dari kisah serupa yang pernah kita alami dalam hidup hingga saat ini. Masih sangat banyak kisah lain yang serupa dari berbagai latar dan perspektif hingga budaya dan negara. Poinnya adalah tahu berterima kasih. Sekurang-kurangnya, tak merusak silaturahmi. Fakta bahwa air susu dibalas air tuba ini, mungkin tergambar dari saling klaim para pasangan calon presiden saat ini hingga tetangga di tiris rumah kita.

Dalam sebuah diskusi di WAG tentang potensi pemilih milenial, yang dikategorikan dengan latar kisaran usia tertentu, yang jumlahnya signifikan saat ini, saya bercanda bahwa salah satu kelemahan mereka adalah “mudah lupa”. Maksudnya, proses internalisasi pengetahuan dan pengalaman hidup yang didapat, tak sekuat orang dewasa, yang diasumsikan matang kepribadiannya dan punya level penghayatan terhadap nilai yang lebih. Termasuk menghayati dan merenungi kebaikan orang pada kita.