Padahal bulan-bulan sebelumnya mereka tampak eksklusif, membatasi pergaulan, mengambil jarak dengan masyarakat, pergaulannya pun hanya sebatas sesama golongan dan status sosial. Namun mendadak mereka menjadi baik, sopan, santun, tampak begitu hargai dan hormati orang lain. Bahkan mereka pun melebarkan sayap pergaulannya di semua lapisan masyarakat baik etnis, agama dan tanpa memilih golongan.
Dalam kampanye politik, drama kehidupan (panggung depan) begitu menonjol, calon kandidat atau juru kampanye jelas memainkan perannya di depan publik, yang terdiri dari tindakan-tindakan yang sesuai dengan statusnya sebagai elit politik. Untuk memainkan perannya di hadapan masyarakat, biasanya elit politik menggunakan bahasa verbal seperti slogan-slogan, jargon-jargon politik dan janji-janji muluk.
Di sana pula elit politik menyadari betul pentingnya citra dan kesan yang diproyeksikan kepada masyarakat/publik. Mereka berusaha seaktif mungkin tak sebatas memberikan—tetapi juga mengatur penampilan fisik, bahasa tubuh, gaya berbicara dan berpakaian untuk menciptakan citra yang mereka inginkan hingga pada penyaluran bantuan berupa sembako dan lain sebagainya.
Pencitraan ini bertujuan untuk memperoleh kepercayaan, dukungan dan mencapai tujuan yakni memenangkan pertarungan politik. Namun, di belakang panggung ada strategi lain yang disembunyikan, jauh dari mata publik dan cukup kompleks. Retorika mereka di atas panggung sungguh jauh dari kenyataan—ada manipulasi, inkonsistensi, ketidakjujuran dan partisipasi politik telah diatur sebagaimana rupa, sehingga sesuai dengan kehendak calon kandidat.
Pada kenyataannya pemberian, kebaikan tersebut bukanlah sesuatu yang gratis, semuanya ada tuntutan imbal-baliknya.
Tuntutannya adalah berupa pemberian suara oleh masyarakat atau dukungan politik. Bahkan kerapkali calon kandidat melakukan hal yang tak etis, dan sudah banyak contoh kasus—ada sebagian calon kandidat ketika memperoleh suara tak sesuai target (kalah dalam pertarungan) kerapkali mereka menarik kembali barang-barang yang diberikan pada masyarakat pasca pemilu.
Pada titik ini kita dapat menilai bahwa “orang baik dadakan” di panggung politik tiga bulan ini terkadang diragukan oleh publik sebab—watak mereka sulit ditebak, oleh karena kualitas pribadi dan politik gagasannya pun tak mumpuni. Dengan demikian, suatu hal penting yang tak bisa diabaikan adalah menelusuri rekam jejak intelektual moral calon pejabat publik. Jika tidak, dan bila kita salah menentukan pilihan, pada akhirnya akan menghasilkan pejabat publik yang cenderung pamrih bila mereka terpilih—bahkan kebijakan pembangunan pun tersumbat dan hanya menyisakan penyimpangan. (*)
Tinggalkan Balasan