Pengambilan hak hutan pun seolah-olah tidak lagi terdengar dari suara perempuan. Padahal ketersediaan alam yang baik tidak seharusnya hanya melibatkan laki-laki, maka pengambilan keputusan mengenai hutan harus memperhatikan perempuan.

Hal ini tidak hanya dilihat pada masyarakat Papua saja, Maluku Utara pun mengalami hal demikian. Khususnya di bagian tanah Halmahera yang dulunya hijau kini tak hijau lagi sejalan dengan lirik lagu “Tetap hijau Halmahera-ku”. Mereka yang dulunya menjadikan hutan sebagai tempat bertahan hidup kini telah dirampas.
Kasus seperti di daerah Lelilef, masyarakat tidak lagi bertani dan memakan hasil kebun. Mereka menjadi masyarakat konsumtif, perempuan adat di sana tidak lagi bisa memanfaatkan hutan sebagai tempat penghasil ekonomi dalam kebutuhan sehari-hari. Bahkan dalam perjuangan masyarakat adat dalam menjaga identitas bangsa tidak terlepas dari hak-hak perempuan adat, baik sebagai individu maupun menjadi masyarakat adat.

Riset dari Papua Study Center (PSC) Mongabay.com, di desa-desa sekitar tambang di Kecamatan Weda Tengah dan Weda Utara, Halmahera Tengah, menemukan komunitas adat tercerabut dari sumber-sumber penghidupan hingga akan bekerja apa saja untuk keperluan memenuhi hidup. Kehadiran pertambangan yang disusul kawasan industri nikel di kawasan pesisir Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara, makin menambah rentetan kesulitan hidup warga, terutama perempuan adat Sawai.

Perempuan yang dulu mudah dalam memenuhi pangan, kini kesulitan kala kebun-kebun tergusur. Bahkan, perairan yang menjadi tempat perempuan mencari ikan pun tercemar. Hal ini pun dirasakan Afrida Burnama, salah satu warga Desa Sawai (mongabay.com, 28/08/2022).

“Masyarakat saat ini menderita karena mengambil pasir tidak bisa, mengambil batu tidak bisa, berkebun pun juga tidak bisa karena lahan telah digusur. Mau memancing di laut juga dilarang, memancing di pesisir pantai juga ditutup, air sungai yang dipakai untuk minum dan mandi semua sudah ditutup. Sebenarnya tanah air ini milik siapa? Kita seakan dipenjara di rumah sendiri,” tuturnya.

Penderitaan yang dirasakan masyarakat adat, tidak harus selalu dipaksakan untuk mengikuti sistem pertumbuhan ekonomi yang selalu menindas masyarakat, mereka tahu cara bertahan hidup tanpa harus membuat mereka kesusahan. Ketenangan, kebahagiaan, dan ketenteraman lebih diutamakan perempuan adat pada wilayahnya.

Oleh karena itu, perlunya perlindungan hutan adat sebagai tempat bertaninya perempuan adat agar tidak hilang aktivitas-aktivitas bertani masyarakat adat dalam kearifan lokal. Pemerintah harusnya tidak miskin perhatian terhadap masyarakat adat. Mari mewawas diri untuk lebih kuat lagi mempertahankan hutan maupun tanah adat. (*)