Pertumbuhan ekonomi menjadi ajang penting yang terus digali oleh pemerintah, sehingga terkadang membuat mereka buta dengan perampasan lahan dan hutan sehingga berdampak terhadap perempuan adat. Sebagaimana diungkapkan Vandana Shiva bahwa pengetahun dan pekerjaan perempuan sangat baik dalam konservasi dan pemanfaatan hayati. Namun acap kali kontribusi perempuan belum diperhitungkan. Padahal perempuan adat terlibat sebagai penjaga ketahanan hidup keluarga maupun suatu komunitas.
Ia menyebut, dalam buku Perspektif Gerakan Perempuan dan Lingkungan, perempuan telah menjadi ahli dalam bidang pertanian dan peternakan.

Perempuan berjasa besar kepada kemanusiaan sebagai mahluk yang pertama-tama mendapatkan ilmu bercocok tanam, yang sampai sekarang menjadi tiang penghidupan manusia di muka bumi. Bukan saja yang mendapatkan rahasia pertanian, ia juga adalah pekerja pertanian pertama (Sarina, 2014).

Menurut Nelson Mandela, kebebasan tidak bisa dicapai kecuali perempuan telah dibebaskan dari segala bentuk penindasan. Perampasan lahan terus dilakukan oknum-oknum berkepentingan, yang akan berpengaruh pada perempuan adat yang memanfaatkan hutan sebagai sumber kehidupan sehari-hari. Tak cakap bila hal ini terus terjadi dan dirasakan perempuan adat.

Jika kita menilik di tanah Unurum Guay, Kabupaten Jayapura, hutan adat kian terkikis. Hamparan kelapa sawit telah mengubah wajah hutan, sekaligus kehidupan masyarakat. Salah satunya di Desa Garusa. Masyarakat adat yang semula harmonis dan tercukupi atas hasil alam, kini terseok-seok: kehilangan mata pencaharian, bekerja bergantung upah, sebagian menjadi konsumtif, hingga munculnya konflik antar suku. Hutan adat terbabat, ruang hidup hancur, perempuan bakal menerima dampak berlapis-lapis.

Di sana sumber air, sumber pangan, obat-obatan, tradisi, dan budaya. Perempuan Papua pun tak terhindar dari dampak itu, mereka memiliki hubungan yang erat dengan hutan dan tanahnya.
Perampasan tanah yang disulap menjadi lahan kelapa sawit, membawa penderitaan pada perempuan adat Papua. Menurut Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, investasi berbasis tanah skala besar di pulau tersebut, seperti kelapa sawit dan hutan tanaman industri, telah menggoyang relasi perempuan terhadap alam. Dampaknya pun langsung pada penghidupan perempuan itu sendiri. Akibatnya, akses terhadap hutan kini terbatas akibat proses akuisisi lahan untuk pembukaan kebun. Bukan hanya kehilangan hak mereka secara adil, mereka juga kehilangan mata pencaharian, yang tidak bisa lagi mengambil hasil hutan.

Warga setempat pun menyuarakan, jika dulu hutan mereka bisa menyediakan semua untuk masyarakat Papua mulai dari ubi, sagu, rusa, babi, pohon-pohon yang teduh dan ranting yang bisa dimasak, kini sudah tidak lagi. Pemanfaatan hutan oleh perempuan adat mulai terkikis dan hilang seperti aktivitas mengambil kayu menjadi bahan bakar, pohon kayu yang bisa dipakai untuk membuat rumah, pembersihan hutan untuk lahan kebun, tradisi-tradisi masyarakat adat sudah tidak lagi terjaga, akibat sistem ekonomi sekarang ini.