Memang tidak demikian dalam setiap putusan pidana di MA terkait permohonan kasasi. Karena merujuk pada ketentuan pemeriksaan untuk kasasi mulai dari Pasal 244 hingga Pasal 257 KUHAP, tidak secara terang benderang memuat klausul yang menerangkan bahwa MA harus mencantumkan ketentuan yang bersifat perintah jika suatu putusan dikabulkan atau ditolak.
Buktinya, dalam amar putusan MA No. 93 K/Pid.Sus/2017 hanya menolak permohonan kasasi dari Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Ternate, dan membebankan biaya perkara tingkat kasasi kepada negara. Sedangkan amar putusan PN Ternate, Nomor 07/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tte, tanggal 23 Juni 2016, intinya adalah memulihkan hak-hak Terdakwa Imran Yakub dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya, karena tidak terbukti secara sah bersalah.
Perlu digarisbawahi, dipulihkannya hak-hak Imran Yakub sebagai terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya, ini yang keliru ditafsirkan bahwa cakupannya termasuk pengembalian jabatan. Hal ini perlu dilihat dari penerjemahan kata per kata. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, memulihkan artinya memulangkan, mengembalikan. Kemampuan artinya kesanggupan, kecakapan, kekuatan. Kedudukan artinya keadaan yang sebenarnya; status (keadaan atau tingkatan orang, badan, negara). Harkat artinya derajat (kemuliaan dan sebagainya). Martabat artinya tingkat harkat kemanusiaan, harga diri.
Akumulasi dari terjemahan ini hanya dapat berlaku dalam hal posisi Imran Yakub sebagai warga negara dan ASN, bukan jabatan yang melekat sebelumnya. Sebagaimana dalam penjabaran KUHAP, menerangkan bahwa penempatan kedudukan hanyalah sebagai makhluk Tuhan yang mempunya derajat kemanusiaan, dan harus diperlakukan dengan nilai luhur kemanusiaan. Penjabaran dalam KUHAP ini juga masih kabur, tidak dengan jelas penyebutan yang mengarah pada pemulihan terkait jabatan.
Dengan kata lain, sejauh ini masih terdapat kerancuan dan ketidakjelasan peraturan perundang-undangan, yang spesifikasinya mengatur untuk dikembalikan seorang ASN pada jabatan semula dalam konteks perkara pidana, baik di tingkat pertama hingga kasasi. Sebab, belum ada peraturan secara tertulis yang memberi kewenangan kepada majelis hakim pidana untuk mencantumkan dalam amar putusan terkait frasa pengembalian jabatan seorang terdakwa.
Karena itu, dikatakan bahwa Imran Yakub menduduki kembali jabatan yang pernah diembannya merupakan perintah putusan MA sungguh memalukan, sesat pikir, dan tidak beralasan. Dalam putusan MA terkait putusan kasasi No. 93 K/Pid.Sus/2017 sebagaimana saya sebutkan di atas, dalam amarnya tidak tercantum frasa yang menegaskan pengembalian jabatan semula. Di sini, Gubernur harus memperhatikan dengan benar, apakah bersangkutan setelah mendapat putusan bebas masih layak mengemban jabatan yang sama? Apakah dalam penyelenggaraan kepentingan daerah bersangkutan patuh pada hukum publik, dan tidak bertetantangan dengan asas umum pemerintahan yang baik?
Tinggalkan Balasan