Sandiwara politik sesungguhnya dimulai oleh Jokowi, hingga puncaknya mendorong putranya maju sebagai bakal cawapres. Sementara PDIP bereaksi karena “terlalu berharap” Jokowi tidak berubah. PDIP salah dengan meyakini Jokowi akan patuh dan setia kepada PDIP. Sehingga reaksi dari para kader terhadap sandiwara Jokowi adalah reaksi biasa dari para kader yang terlanjur dan terlalu cinta. PDIP tidak siap karena merasa telah memberikan segalanya, sehingga perasaan kader seperti marah, geram, kesal, tumpah ruah. Namun politik harus berjalan terus, dan PDIP tidak boleh berhenti meratapi kepergian para pengkhianat.
PDIP Move On, Fokus Menangkan GaMa!
Dalam politik semua hal bisa terjadi, cinta dan penghianatan itu hal biasa. Namun PDIP harus segera move on, berjuang bersama rakyat meraih kemenangan. PDIP harus meyakini bahwa hanya dengan rakyatlah kemenangan sejati dapat diraih. PDIP pernah berhasil memenangkan Pilpres (2014) saat mengusung capres orang biasa, Jokowi, meski tanpa dukungan dari kekuasaan. Maka PDIP pasti dapat memenangkan Ganjar- Mahfud dalam Pilpres meski tanpa dukungan dari kekuasaan. Sebab jika rakyat yakin dengan pasangan GaMa, dan percaya kepada PDIP, maka kemenangan hattrick dapat diraih dengan gratis. Maka PDIP dan GaMa hanya perlu membujuk dan meyakinkan rakyat.
PDIP harus segera move on dari Jokowi dan keluarganya agar rakyat dapat menilai kemandirian dan kepercayaan diri PDIP dan GaMa. Jokowi dan keluarganya adalah masa lalu, yang bukan jadi bagian dari masa depan PDIP. Saatnya berhenti memberi perlakuan istimewa kepada kader manapun, sebab setiap kali ada anak emas (diberi hak istimewa), maka kita akan mendapati anak tiri. Perlakuan istimewa yang diberi selama ini kepada Jokowi dan keluarganya, membuat banyak kader menjadi anak tiri, sebagian lagi memilih pergi. (*)
Tinggalkan Balasan