Tingginya sedimentasi ini menurut Dr. Aris, telah menyebabkan pohon mangrove yang telah bertahun-tahun ditanam pihak perusahaan ini tidak dapat tumbuh normal. Aris mengistilahkannya mangrove di kawasan itu mengalami stunting.

 

“Saya istilahkan mengalami stunting, tidak tumbuh, itu kan sudah beberapa puluh tahun tapi mangrovenya masih kecil, kerdil,” kata Aris.

Kondisi kerusakan pada ekosistem mangrove ini dianggap sebagai bukti lain bahwa pesisir dan laut di Teluk Buli telah mengalami pencemaran yang sangat parah. Sebab, mangrove yang merupakan tumbuhan sedimen trap, atau yang memiliki toleransi paling tinggi terhadap bahan-bahan organik saja pertumbuhannya bisa terhambat. Kata Aris, itu menjadi tanda bahwa bukan hanya bahan organik yang terkandung di dalam lumpur melainkan ada juga logam yang tinggi.

 

“Mangrove saja sebagai tanaman indikator yang sangat tahan terhadap stressing tekanan dari pada lingkungan itu juga mengalami stunting, mengalami kekerdilan,” cetus dia.

Terpapar sedimentasi lumpur tambang nikel membuat pertumbuhan mangrove jadi tak normal.(Tandaseru/Ardian Sangaji)

Bagi Aris, dirinya pernah melakukan riset di perairan beberapa teluk di Pulau Halmahera, seperti Teluk Weda dan Teluk Kao. Namun jika dibandingkan kondisi kerusakan lingkungan ketiga teluk ini maka yang paling parah adalah Teluk Buli.

 

Ikan Terakumulasi Logam

Selain riset tentang baku mutu air, Dr. Aris juga melakukan riset tentang kesehatan ikan hasil tangkap nelayan di Teluk Buli.

 

Aris bilang, ada indikasi yang sangat kuat bahwa ikan di Teluk Buli sudah terakumulasi logam. Ini dapat dilihat pada sel, atau jaringan ikan yang telah mengalami gangguan dan tidak normal lagi. Meski secara organoleptik penampakan tubuh ikan terlihat sehat, namun dari sisi histologi jaringan ikan sudah rusak dan mengakibatkannya tidak lagi mengalami reproduksi dengan normal.