Maka makan siang bersama bakal capres kemarin, dan rencana makan siang bersama bakal cawapres besok sama sekali tidak berkaitan dengan netralitas pemerintahan yang dipimpin Jokowi-Ma’ruf Amin. Kegiatan tersebut hanya lips service dan upaya membangun citra netral, menghindari tuduhan bahwa Jokowi melakukan abuse of power demi memenangkan putranya. Makan siang tersebut juga tidak serta merta memberi label negarawan kepada Jokowi.

Sebab dalam KBBI, kata ne·ga·ra·wan ahli dalam kenegaraan; ahli dalam menjalankan negara (pemerintahan); pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan. Maka hanya pemimpin politik mengutamakan kepentingan rakyat, bangsa dan negara yang layak disebut negarawan. Negarawan adalah pemimpin politik yang telah tuntas (selesai) dengan kepentingan diri sendiri, istri, anak, menantu, cucu, keluarga, dan kerabatnya.

Negarawan tidak memiliki vested of interest, tidak butuh puja-puji, pun pernyataan setia dan tegak lurus dari pengikut dan loyalisnya. Negarawan adalah pemimpin yang berani mengakui kesalahan dan bertanggung jawab. Mundur atau berhenti saat gagal, tidak membiarkan anak buahnya bermanuver politik untuk menambah periode (3 periode) atau menunda Pemilu. Negarawan adalah orang yang berani memecat menteri yang menampar mukanya dengan bergerak mengusulkan penambahan periode atau penundaan Pemilu.

Jokowi (Tidak) Harus Netral

Sebagai warga negara dan insan politik, Jokowi memiliki hak politik dan bebas mengekspresikannya. Sebagai kader PDIP (KTA aktif, belum mundur atau dipecat), Jokowi dapat bergerak demi kepentingan politik PDIP. Sebagai orang tua dari bakal cawapres Gibran, Jokowi pun dapat dan harus berjuang untuk kemenangannya. Jokowi harus menggunakan hak pilih aktifnya sesuai kebutuhan dan kepentingan politik. Jokowi tidak harus netral, dan tidak boleh netral.

Namun Jokowi harus mengambil masa cuti saat kampanye untuk partainya (PDIP atau PSI?) atau saat berjuang demi kemenangan putranya. Jokowi juga dapat mengajak orang lain untuk memilih partai atau pasangan calon yang didukungnya. Akan tetapi sebagai kepala negara dan pemerintahan, Presiden Jokowi tidak dapat menggunakan dan menggerakkan alat negara, baik TNI, BIN, POLRI, BAIS, Pj. Gubernur/Bupati/Wali Kota dan ASN demi memenangkan partainya atau putranya. Presiden Jokowi juga tidak dapat menggunakan fasilitas negara baik istana, kendaaraan (pesawat kepresidenan, mobil), termasuk program kegiatan pemerintah demi memenangkan partainya dan putranya.

Pemasangan gambar wajah Jokowi pada alat peraga kampanye dan bahan kampanye sejumlah partai politik dan bakal capres/cawapres harus dihentikan. Termasuk yang telah dipasang dan dipajang di seluruh wilayah harus diturunkan. Pemanfaatan foto Jokowi dalam alat peraga dan bahan kampanye pasti berhubungan dengan posisi Jokowi sebagai presiden. Tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi yang mencapai 80% diyakini berpengaruh pada pilihan rakyat terhadap partai dan pasangan calon. Sehingga meski Jokowi sebagai anggota dan pemilik KTA PDIP, pada saat yang sama PSI, partai yang dipimpin putra bungsu Jokowi, mengklaim PSI sebagai partainya Jokowi, dan menjadi partai yang mensosialisasikan paham Jokowisme.