“Ini menjadi evaluasi dan introspeksi kita bersama bahwa bayaran mengenai dampak lingkungan ternyata hanya di atas kertas. Kenyataannya justru jauh dari panggang api. Begitupun dengan janji-janji kesejahteraan yang sebenarnya hanya isapan jempol belaka. Buktinya geliat investasi yang begitu besar di sini tapi Haltim masih terus memproduksi orang miskin dan menjadi daerah termiskin. Ini sangat aneh,” sesalnya.
Arah kebijakan pemerintah pusat hingga pemerintah daerah, sambungnya, sama sekali tidak mempertimbangkan prinsip keberlanjutan ruang serta generasi mendatang. Dengan begitu, cerita sebenarnya di balik investasi ini adalah investor makin kaya raya tapi warga lokal semakin kesulitan, terhimpit dan terjepit ruang hidupnya.
“Dalam keadaan terhimpit, kondisi sosial-masyarakat akan cenderung saling sikut kiri-sikut kanan, potensi pembelahan dan keretakan sosial makin runcing,” cetusnya.
Jadi, kata dia, melindungi Wato Wato dari rencana ekspolitasi PT Priven Lestari merupakan sebuah keharusan sejarah bagi orang Buli yang sudah belajar panjang dari kenyataan sehari-hari. Bahwa gunung Wato Wato menjadi nafas hidup terakhir warga dalam mepertahankan martabat dan harga diri sebagai orang Buli.
“Jika kiri dan kanan dari gunung Wato Wato ini serta pesisirnya sudah rusak maka jangan biarkan lagi benteng terakhir ini dihancurkan,” tegasnya.
Ia mencontohkan, gunung tersebut telah membuat seorang ibu, Laurina Batawi, dapat menyekolahkan dua anaknya hingga jenjang perguruan tinggi dengan uang yang diperolehnya dari hasil kebun nanas. Nanas ditanam tepat di bawah kaki gunung Wato Wato.
Tinggalkan Balasan