Menurut Thabrany dalam jurnal perempuan, sumber daya manusia yang cerdas dipengaruhi oleh pendidikan, kesehatan, mutu gizi dan yang menjamin agar kebutuhan pangan itu dapat diakses, ketersediannya dan kemampuan daya belinya adalah ibu (kaum perempuan). Hal ini selaras dengan pendapat Khomsan (2012:29) gizi menentukan masa depan sumber daya manusia. Peran perempuan sangat besar dalam menentukan masa depan bangsa sehingga ada pepatah yang mengatakan mendidik wanita adalah mendidik bangsa. Kemampuan inilah yang membuat perempuan harus dihormati dalam relasi sosialnya.
Dalam mitologi Jawa, kita mengenal Dewi Sri, lambang kesuburan dan keberkahan bagi komunitas petani. Pesan yang ditinggalkan dalam mitologi itu menetapkan pamor perempuan sebagai satu sosok yang perlu dihormati. Karena menurut Sukasmanto dalam pengantar buku Persembahan Perempuan untuk Desa, perempuan memiliki potensi lebih bagaikan lumbung yang dapat melindungi, menebar keseburan alam sehingga menjamin keberlangsungan hidup jasad manusia di dunia.
Saat ini, perempuan berperan ganda seperti pengatur rumah tangga, produksi dan pengumpulan pangan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Menurut Mariana penulis buku Persembahan Perempuan untuk Desa, perempuan memainkan peran ganda yakni, sebagai ibu, sebagai pengatur rumah tangga untuk pemenuhan kebutuhan dasar keluarga (family basic need) sebagai produsen dan kontributor penghasil keluarga serta pelestarian alam.
Faktanya perempuan yang bekerja sebagai ibu rumah tangga justru memiliki pekerjaan di luar rumah yang sama beratnya yang dilakukan oleh laki-laki. Bahkan peranan perempuan dalam pembangunan nasional sama pentingnya dengan laki-laki. Bisa dikatakan bahwa sebagai ciri khas perempuan Indonesia adalah pedagang di pasar dan bertani. Food and Agriculture Organization (FAO) menyebut 60% dari pekerjaan usaha tani Indonesia adalah sosok perempuan.
Perempuan menjadi lumbung pangan dan tempat produksi yang dapat diandalkan. Bila kita lihat di pasar-pasar tradisional 80-90% perempuan melakoni aktivitas berjualan. Bahkan di kalangan ekonomi rendah tugas dan kewajiban perempuan lebih berat, khususnya di daerah pedesaan (Irwan, 2009: 57). Hal ini membuktikkan perempuan menjadi peran penting ketahanan pangan. Salah satu contoh yang dialami oleh kaum perempuan di Air Sugihan (salah satu kecamatan di Sumatra Selatan).
Menurut Yuliana dalam buku SRHR (Sexual & Reproductive Health & Rights) & Perubahan Iklim, mayoritas kaum perempuan di Air Sugihan mengecap pendidikan formal hanya sampai Sekolah Lanjut Tingkat Pertama (SLTP), usia mereka rata-rata 24-45 tahun dan bekerja bersama suami, tetapi juga mencari kayu bakar, menampung dan menyaring air rawa untuk kebutuhan sehari-hari. Bahkan menghemat biaya hidup dengan menanam tanaman hortikultura, bila ada lebihnya mereka jual di pasar.
Tinggalkan Balasan