Dalam hal fungsi koordinasi provinsi dengan kabupaten/kota sangatlah lemah, belum lagi miskoordinasi antarsektor. Padahal kunci keberhasilan pembangunan terletak pada bagus tidaknya koordinasi. Crucial point ini menurut saya harus fokus dibenahi dengan sangat serius, jika tidak maka wibawa pemerintahan makin terpuruk dan peta jalan kemakmuran makin kehilangan navigasinya.
Dalam skala tertentu, saya juga melihat pemerintah provinsi dalam 24 tahun ini seolah tak mampu mengelola sumber daya alam tambang negeri ini dengan cerdas dan bijak. Bahkan terkesan pemerintah provinsi didikte oleh kepentingan oligarki tambang. Padahal tugas pemerintah provinsi harusnya mengendalikan investasi di sektor tambang untuk memastikan efek kemakmuran bagi rakyat dan menjaga lingkungan hidup kita tidak tercemar oleh operasi tambang. Dari Sagea, Lelilief, Wato Wato, Kao hingga Obi wajah ketamakan oligarki begitu jelas terpampang, dan harkat serta martabat pemerintah seolah terkubur dalam material tambang.
Di bidang politik, hubungan DPRD dan Pemda Provinsi masih hanya sebatas seremonial tanpa substansial. Padahal demokratis tidaknya suatu pemerintahan terlihat pada kuat tidaknya mekanisme check and balance antarinstitusi politik. Arah kebijakan yang dihasilkan mudah ditebak karena tanpa diskursus publik yang memadai. Padahal kebijakan yang baik harus dimulai dari ikatan keterlibatan rakyat dan elemen civil society.
Akhirnya, saya berharap di usianya yang ke 24 tahun ini pemerintah provinsi Maluku Utara harus sudah memiliki peta jalan pembangunan yang jelas. Desain pembangunan tidak bisa lagi berdasarkan selera kekuasaan tetapi harus bersumber dari harapan dan tuntutan rakyat negeri ini. Dan menurut saya ini faktor kunci, karena tanpa navigasi pembangunan maka provinsi ini hanya ada secara administrasi tetapi hampa dalam tujuan. (*)
Tinggalkan Balasan