Rekrutmen yang sejatinya independen, transparan, dan terbuka, sebagai salah satu buah reformasi yang diperjuangkan mahasiswa, menjadi eksklusif hanya untuk kalangan sendiri. Para tim/panitia seleksi yang semula independen, melibatkan para akademisi dan praktisi murni, pun berubah sesuai selera Jakarta demi mengamankan kepentingan parpol dan ormas. Maka tidak berlebihan kalau proses rekrutmen penyelenggara Pemilu tahun 2024 menjadi yang terburuk pasca reformasi.
Partisipasi Politik Rakyat Menurun
149 hari jelang Pemilu, Rabu (14/2/2024) geliat pesta demokrasi rakyat belum terasa. Meskipun para elit politik berlomba menggelar akrobat dan dansa dansi politik, rakyat tidak antusias. Berbeda jauh dengan 10 tahun yang lalu, saat Jokowi muncul sebagai bacapres. Rakyat secara partisipatif mengorganisir diri, membentuk relawan dan simpatisan. Bergerak secara kreatif dan mandiri dengan biaya sendiri, tanpa dikanalisasi dan dikomando parpol. Bahkan saat itu, parpol tidak berdaya menghadapi tekanan dan permintaan relawan untuk segera memberi kepastian terhadap pencalonan Jokowi.
Euforia kerelawanan berubah pada Pemilu 2019, saat para elit relawan “telah ikut” menikmati remah-remah kekuasaan. Relawan bukan lagi gerakan rakyat, yang lahir dan tumbuh secara partisipatif, dari kerinduan dan harapan rakyat. Organisasi relawan kini tidak ada bedanya dengan parpol yang ingin ambil bagian dalam kekuasaan. Kalkulator politik dihidupkan sejak organisasi relawan dideklarasikan. Peran dan partisipasi rakyat tidak lagi dibutuhkan untuk memenangkan pertarungan. Para pengusaha pun berhasil membangun tembok yang menjauhkan Jokowi dari rakyat. Akibatnya, kemenangan Jokowi di Pemilu 2019, tidak signifikan, meski telah berkuasa 5 tahun.
Pemilu 2014 menarik saat rakyat bergerak untuk memenangkan Jokowi, di mana rakyat menjadi sutradara sekaligus menjadi aktornya. Parpol dan relawan bergerak bersama rakyat memenangkan pertarungan. Sementara jelang Pemilu 2024, parpol dan relawan hanya sibuk mencari muka kepada Jokowi dan keluarganya demi memenangkan pertarungan. Pemilu 2014, semua tentang rakyat, sedang Pemilu 2024 seakan semua tentang Jokowi dan keluarganya. Akhirnya rakyat tidak memiliki peran apapun, selain jadi penonton akrobat politik para elit.
Rakyat Penentu Kemenangan
Meskipun para elit politik lebih memilih memunggungi rakyat, namun penentu kemenangan dalam Pemilu 2024 tetap rakyat. Maka siapapun yang meninggalkan rakyat, pasti akan ditinggalkan rakyat juga. Rakyat akan menghukum Parpol dan para calon yang mengabaikan partisipasi dan peran politik rakyat. Berdasarkan data KPU RI, partisipasi pemilih pada Pemilu 2014, sebesar 70%, dan pada Pemilu 2019 sebesar 81%. Meski secara persentase naik, namun dari jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilih justru bertambah.
Jika mengacu pada data KPU RI, jumlah pemilih pada Pemilu 2019 mencapai 199.987.870 pemilih. Sementara yang menggunakan hak pilihnya 158.012.506 pemilih. Maka jumlah pemilih pada Pemilu 2019 yang tidak menggunakan hak pilihnya sebesar 41.975.364 pemilih. Hampir 42juta pemilih yang tidak berpartisipasi. Jumlah tersebut akan sangat menentukan jika akhirnya ikut dalam Pemilu 2024. Maka Kongres Rakyat Nasional (Kornas) sebagai wadah berhimpun dan berjuang rakyat dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia menyampaikan pandangan dan sikap sebagai berikut:
Tinggalkan Balasan