Apa yang disampaikan DLH Maluku Utara bisa memicu kecurigaan publik, bahwa pemerintah daerah hendak menghindari tanggung jawab dan kepatuhannya terhadap kedaulatan lingkungan, yang secara konstitusional tertuang dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen kedua.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, mengisyaratkan kepada pemerintah dan investor, bahwa idealnya pengelolaan lingkungan yang berhasil harus memerlukan komitmen politik, teknis, dan pola pengelolaan keuangan yang kuat dan berjangka panjang untuk lingkungan. Bukan sebaliknya, ketiadaan komitmen politik maupun teknis untuk mengantisipasi ancaman, tetapi masalah keuangan pemerintah malah menjadi gerombolan yang berbahaya bagi warga dan lingkungan.

Di Rempang, Ruang Hidup Warga Terancam

Lagi-lagi sengkarut korporasi terus berentetan. Memang demikian, tidak ada korporasi yang tidak memicu keributan: warga diintimidasi, direpresi, bahkan melalui tangan besi kekuasaan, mereka harus ditahan karena dianggap provokator yang menganggu kepentingan.

Di Rempang, Batam, Kepulauan Riau, dengan alasan proyek investasi yang bernilai kurang lebih 381 triliun, maka tindakan yang dilakukan pemerintah adalah mendisrupsi hak-hak ulayat warga setempat. Ruang hidup mereka harus direbut secara ekstrem.

Masyarakat terpaksa menjadi korban atas relasi kepentingan antara kekuasaan dengan investor. Bagi warga Rempang, mungkin satu-satunya cara efektif untuk mempertahankan ruang hidup adalah melawan sampai titk darah penghabisan.

Dapat dibayangkan, ribuan warga Rempang dirampas haknya, diusir secara paksa untuk meninggalkan lahannya. Keadaan ini semakin memperburuk kehidupan mereka sebab harus menerima segala risiko kebijakan yang memiskinkan. Mereka akan terpinggirkan dan menjadi rentan dalam lingkungan yang baru, itu sudah pasti.