Maka kita pun harus menempuh cara lain dengan ketidakkuasaan. Terkadang dalam bentuk doa, terkadang dalam petuah budi pekerti. Seakan-akan kerusakan lingkungan yang terjadi adalah sesuatu yang tak bisa diterangkan, yakni ia bukan sebuah problem, melainkan sebuah misteri. Seakan eksploitasi yang rakus, suap dan persekongkolan tak bisa ditelaah sebab dan strukturnya, tapi diduga bersembunyi, sebagai akhlak yang bernoda, di lubuk hati. Seakan-akan untuk lepas dari kerusakan lingkungan sekarang kita hanya bisa dibisiki dan diangkat oleh Yang Gaib.

Menghadapi krisis lingkungan tentu
memerlukan kekuatan bersama untuk mengatasinya. Tapi korporasi dan birokrat yang korup telah menghancurkan apa saja yang bersama itu. Semacam tercipta fragmentasi: sebuah masyarakat yang bukan masyarakat, sehimpun orang ramai yang berhubungan satu sama lain tapi saling tak mempercayai, karena bahkan kepercayaan telah jadi komoditas. Maka bisakah kita akan saling mempercayai ketika krisis merundung dan harus diatasi?

Sagea, adalah mereka yang kini ketakutan mendengar petir dan memandang mendung, seolah-olah itu adalah isyarat buruk dari langit. Sebab setiap kali hujan turun, mereka tahu apa yang akan terjadi: air sungai kembali cokelat, rumah dan kebun terendam banjir yang mungkin lebih luas dan deras.

Sagea adalah mereka yang dibuat tidak berdaya. Desa yang rentan dan ketakutan di bawah hujan. Masyarakat memang layak gentar kepada alam yang masih agung dan misterius. Tapi Sagea: ia lumpuh bukan di hadapan gempa tektonik yang besar, bukan puting beliung yang bengis, juga bukan tsunami.

“Pelaku usaha yang penuh syukur, rakyat jelata tawakal”. (*)