Apa yang dikritik, entah oleh siapapun itu, apapun jenis kelamin dan warna kulitnya, adalah bertolak dari rangsangan atas fakta yang mengenaskan. Bahwa lamanya kekuasaan yang diemban oleh seseorang, bahkan bisa menciptakan kekuatan dinasti untuk melanjutkan kekuasaannya, tidak akan menjamin pencapaian apapun. Perjalanan kepemimpinannya memang patut dikoreksi dengan gaya bahasa yang bebas.

Sejarah menunjukkan bahwa pembatasan hak berbahasa dapat memecah belah dan dapat menimbulkan kecenderungan segregasi dalam suatu masyarakat. Sehingga, pada saat yang sama, semua aturan dibuat untuk menghasilkan masyarakat yang bersatu, yang hanya boleh berbicara dalam bahasa yang diamanatkan kekuasaan (L. Thomas 1996).
Karena itu, bahasa kekuasaan adalah ancaman nyata bagi hak asasi manusia. Bahasa kekuasaan adalah bahasa yang represif, diungkapkan secara halus, dirancang sebagai propaganda untuk membungkam kebebasan berpendapat setiap warga negara. (*)