Perspektif Rocky merupakan cara yang berbeda untuk menyampaikan pendapat dari kondisi bernegara yang kurang lebih sama kita rasakan. Nyaris dari kita semua kecewa terhadap proses institusi demokrasi yang semakin berkurang ruang kebebasan berpendapat di dalamnya.

Lagi-lagi, penilaian kelompok pendukung kekuasaan tampak subjektif dengan dalih presiden sebagai simbol negara. Ada upaya pengaburan makna dari kritik yang disampaikan Rocky. Kesesatan berpikir ini sengaja dimunculkan agar publik menilai bahwa penggunaan kosakata yang baik dan bijak hanya boleh berasal dari kekuasaan. Hanya kekuasaan-lah yang boleh menjadi produsen utama untuk memproduksi kosakata sesuai seleranya.

Dalam keadaan demikian, posisi publik dipaksa untuk familiar dengan dua kosakata pembatas, yaitu etika dan moralitas. Dua kata ini acapkali menjadi kaidah untuk membatasi kritik publik. Padahal sesungguhnya menyampaikan kritik terhadap pemerintah sama sekali tidak membutuhkan dua kaidah itu. Kritik tidak memerlukan prinsip moralitas pribadi pengkritik. Ia berhak “berbeda” dalam urusan kepentingan publik, dengan posisi ideologis dan keyakinan yang berbeda pula.
Karena itu, ketika menganalisis pernyataan seseorang, penting melihat bagaimana posisi ideologisnya. Jika berkelindan dengan kepentingan publik, maka itu adalah bentuk keberanian yang harus diapresiasi. Bukan sebaliknya, mendelegitimasi kebebasan menyampaikan pendapat, bahkan hendak mencabut hak fundamental lewat gugatan ke pengadilan.

Toh, kebebasan berpendapat dilindungi dan diatur dalam konstitusi. Harus dipastikan kebebasan berpendapat terbuka selebar-lebarnya, dan pemerintah harus memberikan jaminan perlindungan yang adil jika itu bukan ujaran kebencian. Sebab itu, klaim hak asasi manusia sebagai prinsip dasar dalam menyampaikan pendapat tidak dapat terbantahkan walaupun menggunakan dalil pembelaan terhadap kekuasaan.
***
Jadi penggunaan kosakata, setajam apapun itu, adalah bagian unik dari transformasi kekuasaan yang terus berganti dari waktu ke waktu. Barangkali, dan bisa saja benar, kritik terhadap kekuasaan dari masa sebelumnya, ritmenya berbeda dengan kekuasaan yang sekarang, harus lebih keras, dan menunjukan posisi kita dalam membela kemanusiaan, termasuk untuk menyelamatkan nyawa ratusan juta rakyat Indonesia dari bahasa-bahasa kebohongan yang diucapkan pemerintah.

J. E. Reynold, seorang ahli linguistik dari Stanford pernah mengatakan bahwa, apa yang universal tentang bahasa harus membantu memahami kemanusiaan kita. Jelas apa yang kita kritik adalah bagian dari pembelaan terhadap kemanusiaan, membantu mereka yang dipersekusi, memahami mereka yang dirampas ruang hidupnya, dan membela hak semua orang yang dibatasi. Tugas kita memang mengkritik, bukan memberi solusi kepada kekuasaan yang manipulatif.