“Kami harap Ketua PN lakukan mediasi ulang terhadap pemohon eksekusi dan termohon eksekusi, supaya hal ini bisa dibicarakan dengan baik-baik,” tandasnya.
Sementara itu, Dian Sariyanti Pellu, anak Djuhria mengatakan, masalah tersebut berawal dari kredit macet atas pinjaman di tahun 2013 ke bank BTPN sebesar Rp160 juta dengan jangka waktu 5 tahun.
“Waktu itu, mama saya kredit di bank BTPN, dan dilakukan penyetoran sudah 2 tahun lebih,” tuturnya.
Dalam perjalanan penyetoran, sambung Dian, ayahnya jatuh sakit sehingga penyetoran mulai terganggu dan tidak dilakukan selama 3 bulan. Dalam 3 bulan, pihak bank langsung melakukan lelang melalui online.
“Tapi pihak bank yang lakukan lelang juga sempat memberi tahu ke kami, untuk batalkan lelang itu harus membayar Rp 15 juta dengan hitungan kredit yang tidak disetor selama 3 bulan. Hanya saja saat itu kami mampu Rp 5 juta,” jelasnya.
Seiring berjalannya waktu, sakit ayah Dian kian parah sehingga belum juga dilakukan penyetoran hingga sang ayah meninggal. Tidak disangka, pihak bank kembali memberitahukan jika rumah yang ditempati telah dilelang sebesar Rp 181 juta lebih dan sudah dimenangkan oleh pemohon eksekusi.
“Dari menang lelang itu, pihak bank minta kami untuk mencari kontrakan menggunakan uang sisa sebesar Rp 20 juta,” ujarnya.
Tinggalkan Balasan