Oleh: Sofyan A Togubu

Pegiat Literasi

_______

“…ternyata puisi tak cuma mengisahkan riwayat lama yang sedih atau bahagia, ia hidup dan menjadi kesaksian hari esok. Juga sejenis ramalan. Esok akan bertemu bahagia, meski saat ini lagi merana.” -Mahesa Jenar

SEJAK awal Juli 2023 kemarin, saya menyibukkan diri untuk jalan-jalan ke tempat peninggalan sejarah di Kota Tidore bersama seorang sejarawan Maluku Utara, Irfan Ahmad. Di dalam perjalanan menuju lokasi sejarah dengan menggunakan mobil, Irfan menyodorkan sebuah puisi tentang Moti berjudul “Moti 1322” yang diinisiasi oleh seorang seniman berbakat di dunia seni, Budi Janglaha.

Entah apa alasannya sehingga dosen dari Universitas Khairun Ternate (Unkhair) ini mengajak saya untuk turut berpartisipasi menyumbangkan sajak bertema Pulau Moti. Seketika, terlintas dalam pikiran saya tentang peradaban peristiwa Moti Verbond tahun 1322, cikal bakal konsep “Moloku Kie Raha” dengan semboyan persatuan “Mari Moi Ngone Futuru.” Konsep ini pernah diulas oleh seorang penulis, Rinto Taib, dalam bukunya berjudul “Catatan Ekspedisi Moti Verbond Merajut Nusantara.”

Selain itu, saya teringat masa-masa perjalanan sosok ayah yang banyak menghadapi lika-liku kehidupan di kelurahan Tafaga, Kecamatan Moti, dan pengalaman seorang remaja jatuh cinta di pulau kecil itu. Dari imajinasi tersebut, saya lantas menciptakan tiga puisi sederhana yang telah disumbangkan ke panitia atau pihak Orang Moti (Oti) Productions.

Awalnya, sebagai pecinta sastra, saya sempat pesimis terhadap keberadaan sastra khususnya puisi di Maluku Utara. Beberapa tahun lalu, kecintaan terhadap sastra di kalangan anak muda masih terbilang rendah, dan hanya beberapa media serta komunitas berorientasi di dunia literasi yang terus menyuarakan puisi, bahkan dibukukan, namun hanya beberapa orang saja. Lomba puisi bertema negeri juga tergolong sedikit.

Namun, setelah adanya gerakan literasi bernama Kopitam (Kumpulan Puisi Tentang Moti) yang diinisiasi oleh Budi Janglaha, konsep ini berhasil menghidupkan imajinasi yang terperangkap dalam jiwa generasi selama ini. Bahkan yang luar biasa, selain mahasiswa, dosen, politisi, birokrat, jurnalis, pekerja industri, dan warga, sajak dari para sultan di Maluku Utara juga ikut berkontribusi.