Dalam rumusan muatan materi ranperda Bab VIII Pasal 27, imbuhnya, dijelaskan bahwa pengembalian investasi BUP dalam KPDBU Infrastruktur layanan kesehatan bersumber dari pembayaran ketersediaan layanan (Availability Payment). Skema Availability Payment (AP) biasanya digunakan dalam hal tidak ada pendapatan dari pengguna layanan/tidak ada pengguna akhir yang dapat dikenakan tarif, misalnya penyediaan infrastruktur yang digunakan oleh pemerintah untuk memberikan layanan publik, atau potensi pendapatan tidak signifikan untuk menutup investasi badan usaha/proyek tidak layak secara finansial, atau infrastruktur disediakan secara gratis kepada masyarakat.

“Dengan memilih skema AP, maka mekanisme pembayaran atau pengembalian investasi tidak bersumber dari pengguna layanan dalam hal ini warga Kota Ternate dan sekitarnya yang mendapat pelayanan dari rumah sakit. Atau pun dalam hal proyek KPDBU ini mendapatkan pemasukan dari pembayaran layanan, maka PJPK dalam hal ini Wali Kota tidak dapat memperhitungkan pemasukan tersebut sebagai pembayaran AP terhadap BUP. Ini artinya bahwa mekanisme pengembalian investasi sepenuhnya bersumber dari alokasi anggaran yang tersedia dalam APBD Kota Ternate. Secara politik, hal ini membutuhkan adanya kesepakatan bersama antara Wali Kota dengan DPRD untuk memastikan adanya alokasi anggaran dalam APBD di setiap tahunnya selama masa pengembalian nilai investasi. Pertanyaannya adalah, apakah APBD Kota Ternate mampu memenuhi nilai Investasi yang harus disiapkan selama masa perjanjian sebagaimana disebutkan dalam Pasal 31 ranperda ini, bahwa PJPK melaksanakan kewajiban pembayaran regres berdasarkan prosedur dan mekanisme yang disepakati dalam perjanjian regres,” paparnya.

“Sehingga Fraksi Demokrat juga perlu meminta penjelasan kepada Pemerintah Kota Ternate terkait mekanisme pengelolaan risiko atas proyek KPDBU ini, karena selama rencana kerja sama proyek KPDBU layanan infrastruktur kesehatan ini berjalan kurang lebih sudah hampir 2 tahun ini, DPRD belum mendapatkan penjelasan konkrit dari Wali Kota tentang bagaimana mekanisme pengembalian dengan model AP, serta bagaimana kesiapan Wali Kota atas pengelolaan risiko fiskal yang bisa saja terjadi ke depannya. Apakah Wali Kota sudah memperhitungkan adanya risiko infrastruktur dan menyiapkan mitigasinya? Bagaimana melakukan realokasi anggaran dalam APBD dalam hal terjadi persitiwa atau kejadian yang menyebabkan APBD Kota Ternate tidak mampu mengalokasikan anggaran untuk memenuhi kewajiban PJPK terhadap BUP?” sambung Junaidi.

DPRD Kota Ternate, kata dia, perlu menyampaikan hal ini mengingat DPRD punya pengalaman terkait proyek Multi Years sebelumnya yang dilakukan oleh Wali Kota periode sebelumnya, di mana nilai pembayaran kepada pihak ketiga dalam proyek Multi years, meskipun sudah dituangkan dalam Nota Kesepakatan antara Wali Kota dengan DPRD, tidak dapat dipenuhi oleh Pemerintah Kota Ternate dan dilakukan penyesuaian dalam APBD tahun-tahun berikutnya.

“DPRD perlu mengikhtiarkan, kalaupun proyek KPDBU ini dilaksanakan sebagai salah satu proyek prestisius daerah, maka keterlambatan atau ketidakmampuan daerah untuk menunaikan kewajibannya kepada pihak BUD ini tidak boleh terjadi, karena akan menurunkan kredibilitas dan marwah Pemerintah dan DPRD Kota Ternate,” tegasnya.

FPD menekankan, Wali Kota perlu memastikan dan menjamin adanya pemahaman yang utuh dan komitmen kuat dari para pemangku kepentingan khususnya kepala OPD, apakah OPD juga bersedia urung rembug memikirkan solusi atas permasalahan risiko infrastruktur dan risiko fiskal yang terjadi di tahun-tahun mendatang atas proyek KPBDU ini.

“Jangan-jangan kepala OPD tidak bersedia jika alokasi anggaran OPD-nya dikurangi oleh TAPD untuk mencukupi beban APBD atas kewajiban PJPK terhadap BUD,” ujarnya.

Sementara Fraksi PDI-P dalam pandangannya menyatakan ranperda ini sudah pernah diajukan pemkot pada tahun 2022 dan telah dibahas DPRD, namun dikembalikan dengan alasan masih harus dikaji dan disempurnakan sesuai hasil pembahasan pansus.