Menurut Hasrul, MKDKI dibentuk sepertinya mencontohi dari pengadilan disiplin di Belanda. Hanya saja MKDKI tidak mengenal evaluasi dan/atau upaya hukum banding. Selain itu, Tuchtcolleges in Nederland dan/atau Medisch Tuchtcollege Caribisch Nederland dalam sistem hukum Belanda tujuannya bukan untuk mencari keuntungan finansial bagi pasien, dikarenakan tindakan medis yang salah dijadikan sebagai pelajaran agar meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.
Ia juga menjelaskan, apabila sengketa medis diselesaikan oleh Pengadilan, maka dapat terpenuhi asas fair trial dan due process of law. Pertama, dalam konteks ius constitutum, seharusnya segala proses penegakan disiplin yang berlaku hari ini di MKDKI secara hukum dapat dilakukan evaluasi dan/atau upaya hukum banding bahkan kasasi. Hal ini mengingat Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G UUD 1945 yang dijadikan sebagai landasan konstitusional judicial review.
Apabila dilakukan ‘sistematisasi’ terhadap norma hukum Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 “Pengakuan, Jaminan, Perlindungan dan Kepastian Hukum yang Adil serta Perlakuan yang sama di hadapan hukum” dengan makna norma dalam Pasal 69 ayat (1) UU Praktik Kedokteran. Dalam pandangan Ahli, norma hukum “Kepastian Hukum yang Adil” dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, bukanlah kepastian hukum prosedural dalam spektrum postivisme hukum, melainkan keadilan yang bersukma pada nilai-nilai Pancasila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” yang konsekuensinya setiap orang dalam bingkai sistem hukum Pancasila diberikan kesempatan untuk mencari keadilannya.
“Maka seharusnya negara dalam hal ini Presiden, melalui KKI dalam konteks ius constitutum harus menciptakan wadah evaluasi dan/atau upaya hukum banding terhadap putusan dan/atau rekomendasi yang dikeluarkan oleh MKDKI. Dalam pandangan Ahli, frasa ‘perlindungan’ dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 memiliki hubungan dengan Hak Asasi Manusia yang wajib diberikan oleh negara dalam bentuk struktur hukum dan substansi hukum yang berjenjang dalam penegakkan disiplin kedokteran, artinya memang menjadi keharusan hukum bahwa setiap putusan dan/atau rekomendasi dari MKDKI tidak bisa dimaknai final, dikarenakan di situlah negara secara sadar mendukung tindakan diskriminasi, sekaligus tidak memberikan ‘perlindungan’ dan/atau jaminan keadilan kepada dokter sebagai warga negara yang juga berhak mendapatkan porsi hukum yang berkeadilan,” jabar Hasrul.
Apabila merujuk pada Tuchtcolleges in Nederland dan/atau Medisch Tuchtcollege Caribisch Nederland terdapat upaya “Banding”. Maka secara hukum, putusan MKDKI juga dapat dibenarkan terdapat upaya evaluasi dan/atau banding, hal ini dapat dibenarkan dikarenakan dalam penafsiran sistematis dan penafsiran historis hukum Indonesia dan hukum Belanda berada dalam bingkai sistem hukum civil law.
“Kedua, penegakan disiplin keilmuan kedokteran dan penegakan hukum (pidana dan perdata) seharusnya dalam kedudukan sejajar baik struktur dan substansi. Artinya ketika pengaturan norma pidana materil diatur dalam undang-undang (KUHP), maka mutatis mutandis pengaturan norma materil penegakan disiplin keilmuan dokter pun harusnya diatur dalam undang-undang, bukan seperti saat sekarang ini yang masih diatur dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi, yang apabila dilihat secara komprehensif pengaturan norma disiplin banyak yang telah masuk dalam ranah pelanggaran dan kejahatan sebagaimana tertuang dalam KUHP dan ajaran hukum pidana. Maka Ahli, menyatakan dalam sidang Mahkamah Konstitusi yang Mulia ini, sangat penting membangun Peradilan Profesi Medis di bawah Mahkamah Agung, di mana secara struktur dan substansi diatur dalam undang-undang yang memiliki kekuatan hukum dan kepastian hukum,” jabarnya.
Tinggalkan Balasan