“Hal ini tergambar dari DIM (daftar inventaris masalah) yang diajukan pemerintah tidak memuat apa yang disuarakan oleh organisasi profesi dan organisasi kemasyarakatan yang telah memiliki kredibilitas dan kompetensi dalam memberi masukan. Justru pemerintah banyak mengakomodasi organisasi-organisasi yang tidak jelas bentukannya dan sangat nyata proses disintegrasi profesi kesehatan yang diperlihatkan dalam proses public hearing,” jabarnya.

Ketiga, pembungkaman suara-suara kritis yang dilakukan secara formal oleh pemerintah. Khususnya Kementerian Kesehatan telah melanggar hak konstitusional warga negara yang dilindungi UU 1945.

“Pemberhentian seorang guru besar, yakni Prof. Dr. Zaenal Muttaqin, Sp.BS, merupakan bukti nyata power abuse yang berdampak bagi hak-hak individu warga negara, serta yang terpenting adalah terganggunya proses pendidikan kedokteran,” terang Alwia.

Sedangkan alasan keempat adalah adanya kasus kekerasan di Lampung Barat dan beberapa daerah lain yang dialami tenaga medis maupun tenaga kesehatan lain memperlihatkan adanya keterlibatan organisasi profesi setempat.

“Hal ini harus dipandang sebagai upaya organisasi profesi membantu pemerintah dalam memberikan perlindungan bagi tenaga kesehatan,” ujarnya.

“RUU Kesehatan sangat memperlihatkan upaya pemerintah menghapus keberadaan organisasi profesi yang telah lama mengabdi bagi negeri. Di saat pandemi bukti pengabdian ini sangatlah nyata, namun setelah pandemi ada upaya menghilangkan peran dan bahkan ada upaya disintegrasi yang dilakukan pemerintah terhadap profesi kesehatan. Hal ini tentu tidak sejalan dengan Pancasila yaitu sila Persatuan Indonesia,” tandas Alwia.