Faktanya, tidak ada jeratan hukum bagi para pelaku tindak pidana pencucian uang sebagaimana disebutkan. Karena itu, skandal ini mengindikasikan ada kelemahan fundamental dalam upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Paling tidak ada dua kelemahan mendasar dalam skandal ini. Pertama, tidak ada inisiatif atau kemauan penegak hukum untuk memberi efek jera terhadap para pelaku. Kedua, tidak ada kerja sama yang terukur antar kelembagaan terkait sehingga menjadi celah bagi pelaku terus-menerus melakukan kejahatan.
Celah bagi Para Pelaku
Sebagai negara berkembang, Indonesia masih memiliki sejumlah kelemahan lain di luar dua kelemahan esensial di atas, yang sering dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan pencucian uang. Yaitu, ketiadaan regulasi untuk memberi efek jera kepada para pelaku melalui sistem perampasan aset dan harta kekayaan yang bersumber dari kejahatan.
Ketua PPATK, Ivan Yustiavandana (2016) pernah menegaskan perlunya dorongan untuk percepatan regulasi Pembatasan Transaksi Tunai, Pembawaan Uang Tunai Lintas Batas, dan Illicit Enrichment. Bahkan PPATK juga sudah merekomendasikan supaya Rancangan Undang-Undang mengenai Perampasan Aset segera disahkan menjadi Undang-Undang.
Celah bagi para pelaku sejauh ini karena tidak diberi hukuman yang benar-benar memiskinkan. Terutama pelaku aktif yang sudah berulangkali melancarkan kejahatan, ketiadaan regulasi yang memberi efek jera baginya adalah kesempatan, walaupun kemudian timbul risiko hukum yang dijalankan berupa pidana penjara dan denda yang dibayarkan.
Memang, para pelaku kejahatan ini sangat paham, baik yang tergolong pelaku aktif maupun pasif. Mereka memiliki berbagai trik yang cerdas untuk menempatkan uang ke dalam sistem, dibuat secara berlapis, kemudian diintegrasikan agar tampak legal. Bahkan untuk mengacaukan konsentrasi dalam penegakan hukum, pelaku pasif mengklaim tindakannya bukan tergolong kesalahan karena di luar otoritasnya. Bahkan mengklaim sebagai korban dari pelaku aktif.
Tinggalkan Balasan