Tandaseru — Dalam medio Februari dan Maret 2023, publik Indonesia secara khusus pelayanan kesehatan muncul pro dan kontra terkait upaya inisiatif DPR RI dalam menyusun Rancangan Undang-undang Kesehatan Omnibus Law RUU Kesehatan. Namun itulah dinamika politik pembentukan peraturan perundang-undangan, selalu memunculkan perdebatan panjang sampai pengesahan suatu undang-undang.

Kementerian Kesehatan pun bekerja sama dengan Kolegium Juris Institute dan Fakultas Hukum UGM menggelar FGD pada Jumat (31/3) di hotel Alana Convention. Dalam FGD itu diminta pandangan para pakar hukum, salah satunya Dr. Hasrul Buamona selaku Advokat dan Pakar Hukum Kesehatan Universitas Widya Mataram Yogyakarta.

Terdapat empat hal penting dalam gagasan dan pandangan Dr. Hasrul, yaitu:

  1. Integrasi dan sinergitas peraturan perundang-undangan yang memiliki hubungan dengan pelayanan kesehatan
  2. RUU Kesehatan harus mempermudah pengangkatan tenaga profesi medis dan tenaga profesi kesehatan untuk menjadi ASN dan PPK untuk menjawab kurangnya tenaga medis diwilayah terpencil
  3. Mengatur norma terkait kedudukan Rekam Medis sebagai alat ke dalam RUU Kesehatan
  4. RUU Kesehatan harusnya membuat Peradilan Profesi Medis yang kedudukannya di bawah Mahkamah Agung demi terwujudnya access to justice.

Di hadapan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Dr. Hasrul menyampaikan bahwa wajah politik hukum kesehatan di Indonesia penuh dengan konflik pembentukan norma, tumpang tindih aturan, sampai berebut kewenangan. Hal ini disebabkan politik hukum peraturan perundang-undangan dalam pelayanan kesehatan tidak saling terintegrasi.