Penghancuran Daratan dan Wilayah Laut Pulau Obi
Masih menurut Jatam, jejak kotor Harita di Kawasi bukan hanya dari pembangunan pabrik pengolahan nikel semata, namun juga dari operasi pertambangan nikel sejak 2010 lalu. Kawasi merupakan kampung tertua di pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. Luasnya mencapai sektiar 286 KM2, dihuni oleh lebih dari 1.118 jiwa penduduk. Masyarakat Kawasi hidup di daratan dan pesisir Pulau Obi sejak tahun 1980-an. Mereka termasuk para pendatang dari Tobelo-Galela di Pulau Halmahera, dan sebagian lagi dari Buton. Mata pencaharian warga adalah berkebun dan melaut.
Sejak perusahaan tambang masuk dan beroperasi, Kawasi – yang semula warga hidup damai, bertani dan melaut untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga – berubah menjadi area pertambangan yang meluluhlantakkan wilayah daratan, pesisir, dan laut. Lahan-lahan warga dicaplok, tanaman perkebunan lenyap, sumber air tercemar, udara disesaki debu dan polusi, air laut keruh-kecoklatan, bahkan ikan-ikan tercemar logam berat.
Ironisnya, proses pencaplokan lahan-lahan warga itu diselimuti kekerasan dan intimidasi, bahkan sebagian warga yang menolak lahannya digusur justru berhadapan dengan tindakan represif aparat negara dan perusahaan.
Perusahaan selalu menggunakan siasat licik, dengan menerobos terlebih dahulu baru melakukan negosiasi. Siasat ini, selain merugikan warga, juga mempersempit pilihan warga untuk bertahan atas tanah yang sudah dihancurkan dan dikepung oleh operasi pertambangan. Di saat yang sama, perusahaan mengklaim jika lahan-lahan yang diterobos paksa itu milik negara, meski warga telah menguasai puluhan tahun, bahkan membayar pajak.
Hampir seluruh sumber air warga Kawasi telah tercemar, akibat sedimentasi ore nikel dari operasi perusahaan. Warga – yang sebelum tambang masuk dan beroperasi bisa mendapatkan air secara gratis – kini harus mengeluarkan uang untuk mendapatkan air bersih. Sebagian warga yang secara ekonomi kekurangan, terpaksa tetap bergantung pada sumber air yang telah tercemar.
Air Cermin dan Sungai Loji yang sebelumnya dipakai warga sebagai sumber air bersih, misalnya, kini telah lenyap pasca perusahaan membongkar sebagian besar kawasan hutan di daratan hingga pesisir. Sementara Sungai Ake Lamo, sungai terbesar di Pulau Obi, kawasan hulunya tengah dibongkar oleh perusahaan tambang. Bukit-bukit yang menjadi daerah aliran dan badan sungai telah dikupas, menyebabkan sungai ini dalam kondisi tercemar dan rusak.
Setelah ruang hidup warga di darat dihancurkan, ruang laut tempat nelayan mencari ikan di Pulau Obi pun turut dirusak dan dicemari. Limbah-limbah yang dibuang ke sungai-sungai dan mengalir ke laut menyebabkan pesisir dan laut berubah warna menjadi keruh-kecoklatan.
Tinggalkan Balasan