“Kehilangan tutupan pohon di hutan pulau di Malut ini secara signifikan disebabkan atas aktivitas pertambangan, perkebunan dan logging, karena dalam satu dekade terakhir misalnya kawasan hutan Maluku Utara menjadi sasaran empuk aktivitas ekstraktif,” ungkap Julfikar.
Padahal, menurut Julfikar, geografis Malut hanya memiliki 24 persen wilayah daratan sedangkan 76 persen perairan. Tapi sangat disayangkan daratan yang begitu mungil semestinya bentang alam hutan harus dijaga. Bila dikelola pun juga harus jauh dari dampak kerusakan ekologi yang ditimbulkan, bukan sebaliknya.
Seperti industri berbasis lahan secara agresif menggugurkan hutan, mencemari sungai seperti salah satu contoh aliran sungai yang rusak akibat sedimentasi ore nikel, tangkapan citra satelit memperlihatkan sepanjang 55 kilometer atau dari hulu hingga hilir badan air sungai Ake Kobe tampak berwarna cokelat, dan lebih parahnya lagi daya rusak itu merembet hingga ke wilayah pesisir dan laut dengan beban kerusakan dua kali lipat dari daratan.
Hingga Maret 2023 ini, kata dia, WALHI Malut mencatat ada 146 usaha berbasis lahan yang menduduki daratan Maluku Utara. Untuk tambang ada 110 izin usaha serta 2 kawasan industri pengelolaan nikel, sedangkan perkebunan dan kehutanan mengoleksi 34 izin usaha.
“Semua usaha yang keluar dari tangan pemerintah ini mustahil tidak menciptakan deforestasi,” sebutnya.
Tinggalkan Balasan