Karena urusan penyelenggara negara melekat pada kebijakan publik, maka etika perlu direfleksikan pada standar dan norma, sehingga harus menjadi penentu terhadap baik atau buruknya suatu keputusan perihal kepentingan publik.

Dalam penyelenggaraan negara atau biasa disebut penyelenggaraan pemerintahan, terdapat larangan penyalahgunaan wewenang atau yang biasa disebut asas detournement de pouvoir, atau exces de pouvoir. Pada intinya, asas ini perlu diterapkan dengan tujuan yang mesti tidak bertentangan dengan wewenang yang diberikan, dan penyelenggara negara yang menempati posisi atau jabatan tertentu dibatasi agar tidak mengutamakan kepentingan pribadi.

Jean Rivero dan Waline, dua profesor ini memberikan pengertian mengenai penyalahgunaan kewenangan, bahwa dalam perspektif hukum administrasi negara, salah satu persoalannya adalah penyimpangan dari tujuan yang diamanatkan dalam undang-undang atau peraturan lainnya untuk kepentingan pribadi (Cekli Setya Pratiwi et. al, 2016).

Namun, lemahnya etika baik secara personal maupun kolektif penyelenggara negara yang melekat pada tanggung jawab institusi, acapkali perdagangan pengaruh adalah aji mumpung. Perilaku demikian adalah penyimpangan yang selalu dianggap wajar dalam urusan penyelenggaraan negara, karena tidak jelas pendefinisiannya dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Urgensi Penegakan Hukum

Yang genting adalah ketiadaan norma khusus terkait penerapan hukum yang berdiri sendiri (delictum sui generis). Bahwa korupsi dalam bentuk perdagangan pengaruh sejauh ini masih berkutat pada delik suap atau gratifikasi misalnya. Padahal harus dipisahkan antara suap, gratifikasi dan perdagangan pengaruh dalam rangkaian yang berbeda.