Pola vertikal terjadi dalam bentuk pemberian insentif antara lembaga tertentu atau pihak yang memiliki kekuasaan dengan pihak yang berkepentingan. Bahkan, biasanya dalam pola vertikal tidak dilakukan secara langsung, melainkan melalui broker/calo yang umumnya merupakan pihak terdekat dengan penyelenggara negara. Peran broker/calo adalah sebagai individu penghubung. Biasanya dalam urusan proyek-proyek pengadaan atau penempatan jabatan tertentu.
Sementara perdagangan pengaruh dengan pola horizontal, yakni antara pihak berkepentingan dengan broker/calo merupakan dua pihak yang berperan aktif, dan pihak penyelenggara negara yang memiliki jabatan adalah pihak target yang hendak dipengaruhi. Pola ini biasanya dilakukan dalam jaringan partai politik yang memiliki hubungan dengan kekuasaan eksekutif.
Dua pola tersebut digunakan sebagai penyamaran dari tindak pidana korupsi. Sebab, dianggap sudah lazim dalam urusan lobi-lobi kepentingan. Padahal, proses transaksi gelap ini ada nilai keuntungan secara ilegal dan melanggar etik penyelenggara negara. Bahayanya, praktik kejahatan terselubung ini berlindung dibalik pembenaran hukum yang mengandung penipuan terhadap publik (Alatas, 1975).
Karena itu, gambaran di atas mengindikasikan korupsi juga berkelindan paut dengan aspek perilaku manusia, yang pada akhirnya menampakkan sisi keburukan kekuasaan, sekaligus berefek pada negara secara jangka panjang.
Lemahnya Etika sebagai Pintu Masuk
Memang sulit bagi setiap penyelenggara negara untuk mematuhi aturan yang telah ditetapkan. Alih-alih mematuhi, perilaku koruptif memang susah terbendung. Etika bukan lagi hal mendasar yang harus menjadi pijakan dalam penyelenggaraan negara.
Tinggalkan Balasan