Meskipun terasa berat karena berisiko hukum tapi tidak ada pilihan bagi kepada daerah untuk melakukannya bahkan lebih ironis sponsorship kadang ikut mengintervensi penentuan pejabat demi mengamankan proses pengembalian utang. Utang Pilkada memang ganas, bisa menggerogoti wibawa seorang kepada daerah yang memiliki kuasa dan wewenang menjadi tidak mandiri dan independen, sebaliknya dengan mudah didikte dan dikendalikan kelompok yang merasa berjasa termasuk pemberi utang.
Secara empiris utang Pilkada membuat kepala daerah terjebak perangkap perburuan rente, rent seeking. Dengan kekuasaan dan pengaruhnya kepala daerah dengan mudah merumuskan kebijakan yang menguntungkan diri dan kelompoknya terutama mitra pemberi utang. Dalam studi mengenai rent seeking, Fitriani (2021) mengemukakan secara garis besar praktik ini berlangsung di berbagai aktivitas pemerintahan dan politik mulai dari jual beli jabatan, pengalokasian anggaran untuk program dan kegiatan, termasuk kompromi politik menjelang pilkada dan sebagainya.
Praktis fenomena utang membuat banyak kepala daerah di periode pertama kepemimpinannya lebih fokus bekerja melunasi utang politik. Dan pada periode kedua kembali bertarung sebagai petahana meskipun miskin prestasi tapi demi melunasi utang sekaligus mengumpulkan pundi pundi kekayaan dan utang. Tipologi kepala daerah seperti ini ada yang berhasil tetapi juga banyak yang tumbang.
Tahun 2024 bangsa ini akan menggelar hajatan nasional, mulai dari Pileg, Pilpres dan Pilkada. Akankah fenomena utang masih menyelimuti awan Pilkada, yang pasti rakyat butuh perubahan. Dan perubahan dapat terjadi bila rezim yang berkuasa juga ikut berubah. Semoga. (*)
Tinggalkan Balasan