Belum lagi patologi politik di era refomasi mengarah kepada terseretnya kembali hampir seluruh rakyat ke dalam ranah politik. Bagi masyarakat patologi politik seperti money politic menjelang pemilu memang tidak berdampak fatal. Namun jika patologi politik seperti ini menjangkiti pemerintah, sendi-sendi demokrasi akan melapuk, pesatnya patologi dalam birokrasi, dan saling tarik menarik kepentingan para petinggi negara demi alasan pembagian kue kekuasaan.
Wali Kota, Bupati, Gubernur, bahkan Presiden di era reformasi acap kali menggunakan pendekatan politis dalam rangka membangun jaringan dan memetakan konsolidasi birokrasi sebagai cara membangun kekuatan politik dari dalam birokrasi. Siapa mendukung siapa, adalah patron yang digunakan dalam rangka membentuk formatur pejabat daerah.
Patologi politik seperti ini akan membangun polarisasi dalam tubuh birokrasi dan melahirkan: Pertama, kelompok loyal, memiliki konsistensi yang tinggi dalam memberikan dukungan kepada seseorang atau partai tertentu.
Kedua, Kelompok oportunis. Polarisasi dalam tubuh birokrasi seperti ini akan melahirkan kesenjangan antara tubuh-tubuh birokrasi itu sendiri. Pengkutuban birokrasi tentu saja ditentukan oleh sikap pemimpin yang telah dihasilkan oleh pemilihan langsung, dalam pandangan Webber, jika pucuk pimpinan yang memengang kendali kekuasaan tidak menggunakan konsep manajerial yang objektif berdasarkan kemampuan-kemampuan individu dan cenderung mengendalikan birokrasi dengan frame politis, maka sistem birokrasi tidak akan berjalan pada poros yang semestinya. (*)
Tinggalkan Balasan