Seharusnya, bukan lagi agama, aliran, kepercayaan, dan bahkan fakta kesukuan yang menjadi komoditas politik untuk pemenangan kontestasi, melainkan ide-ide cemerlang yang diproduksi untuk memperkuat lahirnya kebajikan bersama melalui instrumen politik kekuasaan. Dalam politik gagasan, semakin dekat dan konkrit gagasan yang ditawarkan dengan kebijakan bersama, semakin memberikan daya tarik kepada publik seluas-luasnya.
Politik gagasan seharusnya menjadi senjata untuk gaya demokrasi seperti ini. Peran penting ada di masyarakat untuk mengawal hak demokrasinya secara utuh sehingga politik transaksional yang menjadi budaya dan kebiasaan kita mampu diminimalisir agar tidak terjadinya korupsi yang menghambat pembangunan dan pendidikan.
Demokrasi macam apa yang bisa kita definisikan jika berakhir dengan cara-cara seperti itu. Kapan menyudahi kepura-puraan, puja-puji sementara dengan jabatan yang jelas ada limitasinya.
Yang kalah kita anggap gagal, lalu kemudian kita seolah yakin yang menang dengan modal besar dapat memberi harapan. Ditambah argumen seolah kokoh, dalam politik tidak ada benar salah, yang ada menang kalah. Benarkah argumen itu, jika kelompok demokrasi yang hari ini ikut meruntuhkan order baru, juga balik badan mengamini perilaku pesimis dalam membangun logika demokrasi yang kian menyesatkan.
Ketika kita berdemokrasi lalu kemudian rakyat malah semakin tidak punya kejayaan, tenaga dan semangat artinya kita semakin salah berdemokrasi. Kebanggaan memenangkan demokrasi juga bukan pada ritual hadir di TPS (tempat pemungutan suara) tapi pada gerakan demokratis di tengah-tengah masyarakat agar semakin meningkat partisipasi, sikap sadar menentukan masa depan secara kolektif, budaya gotong royong–sesuai Pancasila– dan lahirnya banyak gagasan dari warga yang kreatif dan inovatif. Jika demokrasi dibajak segelintir elite eksekutif, legislatif, yudikatif bahkan kepentingan oligarki, kita akan melihat pembangunan fisik semakin hancur seiring dengan meningkatnya biaya demokrasi padat modal.
Tinggalkan Balasan