“Secara jujur dari sisi penganggaran yang dibebankan dalam APBD semua dapat dilakukan, asalkan ada kemauan yang serius dari pemerintah kabupaten/kota dan provinsi. Intinya ada itikad dan kemauan dari pemda masing-masing,” tegasnya.
Anggaran kesultanan oleh pemerintah kabupaten/kota dan provinsi, ia berkata, kalau itu menjadi usulan anggaran yang diajukan pemerintah daerah hampir dipastikan DPRD akan menyetujui untuk diakomodir dalam APBD. Ini apabila semua berangkat dari pikiran perubahan untuk memberikan penghormatan dan penghargaan untuk sultan.
“Jadi persoalannya cuma berada pada mau atau tidak saja,” tambahnya.
Hal yang harus dihindari adalah, ujarnya, para pemangku harus bisa berpikir jernih dan jangan lantas berpikir akan terjadi persaingan apabila penghargaan dan penghormatan diberikan kepada sultan dalam konteks pengakuan secara protokoler pemerintahan dan kedudukan keuangan yang diatur dengan perda.
“Sangatlah kerdil apabila ada pikiran akan tersaingi dari sisi pamor, reputasi dan popularitas. Walaupun dalam komunitas masyarakat tertentu pasti akan lebih menghormati sultan daripada jabatan pemerintahan, oleh karena itu pasti ada ketakutan dari sisi politis, akan tetapi dalam konteks sejarah dan kebudayaan mestinya kedudukan kesultanan justru bisa menjadi simbol perekat. Fakta bisa membuktikan dalam kasus batas wilayah misalnya tidak bisa diselesikan pemda tapi bisa dengan mudah diselesaikan sultan hanya dengan mengeluarkan idin, atau melangkah ke titik batas yang sudah ditentukan,” paparnya.
“Sesungguhnya jika mau direnungi jalan pemerintahan yang kita praktikkan selama ini justru masih miskin gagasan-gagasan perubahan. Untuk itu, saatnya kita berubah dengan memberikan porsi dan peran yang seimbang untuk kemajuan simbol-simbol kebudayaan,” tandas Malik.
Sekadar diketahui, di Malut terdapat empat kesultanan, yakni Kesultanan Ternate, Kesultanan Tidore, Kesultanan Bacan dan Kesultanan Jailolo.
Tinggalkan Balasan