“Bagaimana mau bicara kreatif kalau pemeliharan tidak bagus dan kemudian benteng ini menjadi sumber masalah, termasuk menjadi kontributor sampah terbesar di Kota Ternate. Bagaimana museum di sini bisa memberikan daya tarik? Jangan sampai di dalam sampah termasuk bagian dari rempah. Ini catatan buat Pak Kepala Museum, sama-sama kita titipkan apa solusinya ke depan. Bagi kami siap membantu dari sisi kemampuan komunitas kami melakukannya,” tegas Anggota DPRD Malut ini.
Sementara itu, Kepala Museum Rempah-rempah Kota Ternate Rinto Taib yang turut menghadiri kegiatan itu menjelaskan, dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan memang banyak pekerjaan rumah yang harus dibahas.
“Tidak mungkin diselesaikan untuk sekali pertemuan atau dua kali pertemuan. Tapi berkaitan dengan pengelolaan ke depan, banyak pemodelan bisa dipilih tergantung yang punya otoritas tentunya. Tetapi, setidaknya sekadar masukan ada hal-hal menjadi beban masalah baik itu pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun kita apalagi, komunitas termasuk, adalah soal kepemilikan dan penguasaan atas benteng. Benteng ini belum ada sertifikat,” jelas Rinto.
Ia bilang, mau membahas tentang pengelolaan, manajemen dan aktor siapa dan lain-lain itu soal berikut. Karena dalam kepemilikan dan penguasaan dasarnya secara normatif tidak kuat, sebab di beberapa tahun sebelumnya itu sebatas surat keputusan gubernur.
“Kemudian juga terakhir surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 2018 bulan November itu soal penetapan benteng sebagai cagar budaya peringkat nasional. Pertanyaan mendasar tentang kepemilikan apakah milik pemerintah kota, milik provinsi, BPCB atau kementerian. Nah, yang pasti secara normatif ini milik negara tentunya tapi dikelola oleh pemerintah. Tapi secara legitimasi belum terjawab,” akunya.
Tinggalkan Balasan